LAPORAN KEGIATAN “Perlindungan dan Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan yang Hidup dengan HIV AIDS”

Seminar dan Lokakarya ini dihadiri oleh puluhan lembaga dari seluruh Indonesia,  lembaga dan dinas terkait dengan perlindungan dan pencegahan kekerasan terhadap Perempuan yang hidup dengan HIV AIDS. Latar belakang karena setiap tahun angka kasus orang terkena HIV/AIDS mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2018 sebanyak 313.180 kasus (Pria: 191.292 kasus dan perempuan 121.888 kasus dan dapat dimaknai orang yang sadar akan hidup sehat. Estimasi orang yang terkena ODHA setiap tahunnya mengalami peningkatan, pada tahun 2018 mengalami peningkatan sebanyak 640.443. Papua masih dianggap wilayah yang paling rentan, berdasarkan hasil penelitian PRMPN SWARA di empat kota menunjukan perempuan pengguna Napsa banyak mengalami stiga dan mengalami tingkat kekerasan yang lebih tinggi dari pasangan dan non pasangan.

 

Ada beberapa persoalannya adalah mengenai kerentanan perempuan dan anak perempuan yang rentan terinveksi mengalami HIV/AIDS dengan cara penularan seksual dari pria. Kerentanan ini terjadi karena berbagai faktor dan kebanyakan ini juga karena dampak dari budaya patriarki, ketimpangan gender dan adanya relasi kuasa dan berbagai ketidakdilan gender dimana perempuan dianggap sebagai objek. Perempuan sebagai korban kekerasan seksual, korban trafficking, komoditi seksual dll.

 

Kebijakan program Pemerintah

Pemerintah cendrung untuk fokus pada penanganan ibu ke anaknya, melakukan akses layanan untuk test dan pengobatan, membuatkan strategi penghentian penularan, desentralisasi SPM dan kesehatan daerah, berilaku berisiko dan melakukan skrining pada ibu hamil, pasien, TBC, IMS dan penjaja seks dll, tidak ada kekerasan dan diskriminasi, perempuan ODHA tidak menjadi target kekerasan.

 

Ada beberapa tantangan dari permasalahan ini diantaranya, masih banyak perempuan dan kelompok rentan lainnya menjadi objek dari program dimana program lebih pada program oriented, adanya kebijakan yang masih menstigma ODHA karena dianggap sebagai penderita atau pesakitan. Masih adanya pemberdayaan bagi korban, namun masih ada juga kriminalisasi, sehingga adanya penutupan lokalisasi dan adanya penghapusan KPAN, masih dan makin banyaknya kasus prostitusi, semakin tersebar dimana-mana, tidak ada tempat yang aman karena selalu ada razia, hal ini yang mengakibantkan banyak pekerja seks yang hidup dalam ketakutan, rentan untk mendapatkan kekerasan, penipuan dan tindakan yang lainnya.

 

Selain itu muncul masalah yang lainnya kebanyakan pendekatannya secara medis dan bukan sosial, tidak adanya pendekatan secara HAM (To protect, promote), masih banyaknya hak-hak yang tidak terinfeksi dan bagi yang sudah terinfeksi, masih minimnya pemimpin daerah, masih adanya KPAD yang tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan yang menjadi masalah adalah proses penanganan yang tidak melibatkan semua pihak.

 

Masalah diatas akan menimbulkan kesenjangan hukum dan praktek dari aturan hukum tersebut.

Masalah yang banyak terlihat adalah saat kasus tersebut masih di Kepolisian, segala keputusan hakim yang tidak terjangkau dengan PERMA, tidak mudah untuk membuat laporan, akan ada kualifikasi sejak tahap awal proses hukum, dan kebanyakan perempuan ODHA tidak dapat memperoses kasus hukumnya karena biasanya ada stigma bagi korban ODHA, selain itu ODHA juga terancam terkena hukuman atau sanksi pidana karena dianggap menyebarkan virus kepada orang lain, masih adanya diskriminasi terhadap kelompok rentan lainnya, masih minimnya prinsip keamanan dan kerasiaan, keluarga dan masyarakat sekitar masih memberikan labelisasi dan stigmaisasi kepada kelompok ODHA, kelompok minoritas seksual, dan kelompok rentan lainnya, masih ada pungutan biaya, layanan rehabilitasi yang masih sangat minim dan beberapa kebutuhan yang lainnya dan berbagai bentuk kekerasan lainnya yang didapatkan oleh kelompok rentan baik itu oleh lingkungan keluarga, masyarakat dll.

 

Berbagai praktek yang telah dilakukan oleh masyarakat sipil dalam mengkampanyekan mengenai ODHA diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Sosialisasi dan kampanye melalui berbagai media kreatif
  2. Peningkatan kapasitas ODHA/PDHA dan pendamping
  3. Pengenalan lembaga-lembaga layanan
  4. Membangun jejaring kerja untuk menguatkan sesama ODHA/PDHA untuk membangun jaringan advokasi
  5. Melakukan advokasi dari tingkat desa sampai pada tingkat nasional, salah satunya melalui penyusunan rencana pembangunan desa sampai pada tingkat desa.
  6. Melakukan pendampingan, konseling, healing, membantu akses layanan kesehatan, bantuan hukum,
  7. Memberikan peran sesuai dengan kemampuannya, misalnya perempuan yang bisa bernyanyi di gereja, maka jadikan korban sebagai pemandu koor di gereja.
  8. Mendorong untuk membangun kelompok sebaya.
  9. Dan ada beberapa tindakan yang lainnya.

Pertemuan ini menghadirkan beberapa rekomendasi diataranya adalah untuk menghapus aturan yang diskriminatif, adanya sanksi tegas bagi institusi pendidikan yang melakukan tindakan yang diskriminatif terhadap ODHA, adanya kebijakan yang strategis dan inovatif dalam penanggulangi HIV/AIDS, memiliki akses yang sama pada perlindugnan sosial yang sensitif dan responsif gender, adanya layanan publik yang terutama pada pendidikan dan kesehatan yang memiliki aksesbelitas dan terjangkau dan adanya kebijakan pasar tenaga kerja yang inklusif.

Prihatin Perdagangan Orang, Jarnas Dorong Kerja Sama Semua Elemen

 

Jakarta-SuaraSikka.com: Jaringan Nasional (Jarnas) Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sangat prihatin dengan kasus perdagangan orang yang terjadi di Indonesia. Lembaga ini pun mendorong perlunya kerja sama semua elemen terkait.

Sebagai salah satu implementasinya, baru-baru ini Jarnas Anti TPPO melakukan kerjasama Internasional Organisasi Migrant (IOM). Pertemuan pekan lalu itu, dilakukan untuk memperkenalkan visi dan misi Jarnas Anti TPPO. Selain itu juga untuk membangun kerja sama dengan IOM dalam rangka pencegahan dan pemulangan korban TPPO.

Lembaga ini menilai masalah perdagangan orang di Indonesia, baik yang terjadi di luar negeri maupun dalam negeri sudah sangat rumit, sejak dari proses keberangkatan sampai pemulangan. Apalagi ada perlakuan di mana pekerja migran Indonesia (PMI) secara prosedural mendapatkan perlindungan hukum dari negara, dan ini berbeda dengan PMI yang non prosedural.

Dalam rilis kepada media ini disebutkan kasus perdagangan manusia di Indonesia terdata sebanyak 5.551 kasus, didominasi perdagangan perempuan dan anak. Dalam laporan Fellowship, perempuan memiliki tingkat kerentanan tertinggi sebanyak 4.888 (73 persen), anak perempuan 950 (14 persen), laki-laki dewasa 647 (10 persen) dan anak laki-laki 166 (2,5 persen).

Sementara masalah serius lainnya yakni kerentanan pada persoalan hukum, mulai dari mendapat hukuman yang berat, tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja mulai dari gaji, hak untuk libur, hak untuk beribadah dan segala persoalan pekerja migran lainnya, bahkan sampai dengan kehilangan nyawa.

Data statistik BNP2TKI menunjukan dalam rentang waktu 2012-2018, PMI  yang meninggal sebanyak 1.288. Malaysia merupakan negara penempatan yang menduduki posisi tertinggi dengan angka kematian sebanyak 462 kasus,  disusul Arab Saudi 224 Kasus, Taiwan 176 kasus, Korea Selatan 59 kasus, Brunai Darussalam 54 kasus, dan Hongkong 48 Kasus.

Pertemuan antara Jarnas Anti TPPO dihadiri Ketua Bidang Advokasi Gabriel Goa. Pria asal Kabupaten Ngada ini menyampaikan banyak persoalan yang dihadapi PMI, mulai dari keberangkatan sampai pada pemulangannya ke Indonesia.

Dia juga menyinggung soal tidak adanya keadilan hukum. Hemat dia, masih banyak kasus perdagangan orang yang tidak diproses secara hukum, karena kekurangan bukti-bukti dan juga tempat kejadiannya di luar negeri. Dia berharap ke depannya pemerintah Indonesia dapat melakukan kerja sama dengan negara penerima agar persoalan hukum PMI dapat terselesaikan dengan baik.

Sementara Among Pundhi Resi dari IOM mengatakan ada beberapa persoalan terkait TPPO, salah satunya adalah proses re-integrasi bagi korban. Dia menilai masih kurangnya pengawasan dalam melakukan pemberdayaan ekonomi bagi korban, sehingga lebih cenderung pemberdayaan ekonomi tidak maksimal. Saat ini IOM melakukan pelatihan kepada aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim di beberapa wilayah khususnya di NTT.

Jarnas Anti TPPO berharap ke depannya segala persoalan perdagangan orang dapat diselesaikan dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi korban, agar korban bisa mendapatkan keadilan hukum.*** (eny)

 

Source by : suarasikka.com

PERLUNYA KERJASAMA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH PERDAGANGAN ORANG

Jakarta, 08 Pebruari 2019, Parinama Astha selama ini telah bekerja untuk mengakhiri masalah Perdagangan Orang di Indonesia, kefokusan Parinama Astha pada masalah ini tidak terlepas dari berbagai kasus perdagangan orang baik yang terjadi di dalam negeri dan luar negeri, di mana Indonesia merupakan salah satu negara pengirim Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terbanyak di dunia setelah Filiphina. Masalah perdagangan orang, tidak terlepas adanya proses, cara dan tujuan dari tindakan yang telah dilakukan oleh para sindikat perdagangan orang dan kebanyakan pelakunya merupakan orang terdekat, misalnya keluarga, teman dan orang lain yang dikenal oleh korban ataupun keluarga korban.

 

Parinama Astha bersama dengan Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (JARNAS TPPO) saat ini, sedang menangani kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (Eksploitasi seksual) yang dialami oleh anak-anak di salah satu klub malam di Bali.

 

Kasus ini bermula dari adanya pengaduan seorang anak perempuan berinisial CH kepada salah satu anggota JARNAS yang ada di Bali dan pengaduan tersebut kemudian dilaporkan oleh anggota JARNAS ke Kepolisian. Kepolisian kemudian melakukan penggerebekan dan mendapati lima (5) orang korban anak dengan inisial AP, DB, BL dan PT yang berada di tempat penampungan tersebut.

 

Kasus ini telah diproses di Kepolisian dan setelah para korban memberikan keterangannya (BAP), para korban dikembalikan ke rumah orang tuanya masing-masing. Saat ini para korban sedang mendapatkan pemulihan terlebih dahulu di salah satu tempat di Jakarta, sebelum dipulangkan ke rumah orang tuanya masing-masing.

 

Ketua Yayasan Parinama Astha yang sekaligus merupakan Ketua JARNAS TPPO Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, memberikan apresiasi kepada Kepolisian Bali yang telah memproses kasus ini dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak-anak.

 

Selain itu Sara berharap agar para pelaku yang terlibat dalam kasus TPPO ini diproses dan dihukum dengan hukuman yang maksimal sesuai dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Juncto Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

 

Sara juga menambahkan bahwa proses pemulihan bagi korban menjadi prioritas dengan melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintah, masyarakat dan keluarga dan harus dipastikan proses re-integrasi bagi korban terlaksana dengan baik dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi korban anak.

 

APRESIASI KINERJA KEPOLISIAN BALI, PARINAMA ASTHA MINTA PELAKU TPPO DIHUKUM MAKSIMAL SESUAI UNDANG-UNDANG

Press Release
Jakarta, 08 Pebruari 2019, Parinama Astha selama ini telah bekerja untuk mengakhiri masalah Perdagangan Orang di Indonesia, kefokusan Parinama Astha pada masalah ini tidak terlepas dari berbagai kasus perdagangan orang baik yang terjadi di dalam negeri dan luar negeri, di mana Indonesia merupakan salah satu negara pengirim Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terbanyak di dunia setelah Filiphina. Masalah perdagangan orang, tidak terlepas adanya proses, cara dan tujuan dari tindakan yang telah dilakukan oleh para sindikat perdagangan orang dan kebanyakan pelakunya merupakan orang terdekat, misalnya keluarga, teman dan orang lain yang dikenal oleh korban ataupun keluarga korban.

Parinama Astha bersama dengan Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (JARNAS TPPO) saat ini, sedang menangani kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (Eksploitasi seksual) yang dialami oleh anak-anak di salah satu klub malam di Bali.

Kasus ini bermula dari adanya pengaduan seorang anak perempuan berinisial CH kepada salah satu anggota JARNAS yang ada di Bali dan pengaduan tersebut kemudian dilaporkan oleh anggota JARNAS ke Kepolisian. Kepolisian kemudian melakukan penggerebekan dan mendapati lima (5) orang korban anak dengan inisial AP, DB, BL dan PT yang berada di tempat penampungan tersebut.

Kasus ini telah diproses di Kepolisian dan setelah para korban memberikan keterangannya (BAP), para korban dikembalikan ke rumah orang tuanya masing-masing. Saat ini para korban sedang mendapatkan pemulihan terlebih dahulu di salah satu tempat di Jakarta, sebelum dipulangkan ke rumah orang tuanya masing-masing.

Ketua Yayasan Parinama Astha yang sekaligus merupakan Ketua JARNAS TPPO Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, memberikan apresiasi kepada Kepolisian Bali yang telah memproses kasus ini dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak-anak.

Selain itu Sara berharap agar para pelaku yang terlibat dalam kasus TPPO ini diproses dan dihukum dengan hukuman yang maksimal sesuai dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Juncto Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Sara juga menambahkan bahwa proses pemulihan bagi korban menjadi prioritas dengan melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintah, masyarakat dan keluarga dan harus dipastikan proses re-integrasi bagi korban terlaksana dengan baik dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi korban anak.

Narahubung:
Ermelina Singereta, SH (Public Lawyer) : 0812. 1339.904