Menyongsong Perayaan Kemerdekaan ke-74 Tahun pada 17 Agustus 2019, Indonesia kembali mendapat ‘kado’ duka terkait nasib tenaga kerja atau Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Usia Kemerdekaan yang tinggal setahun memasuki usia Intan (75 tahun), belum menjamin Indonesia bebas dari masalah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Jaminan hak para Pekerja Migran sejak dalam proses pemberangkatan hingga berada di luar negeri selalu berakhir tragis. Selain dipulangkan dalam kondisi yang memprihatinkan, mayoritas dalam bentuk peti jenazah.
Berdasarkan data Kementrian luar negeri sebagaimana diberitakan media cetak Kompas, tercatat sebanyak 195 PMI yang terancam hukuman mati yang kini berada di beberapa negara di antaranya Malaysia (154 orang), Arab Saudi (20 orang), Cina (12 orang), Uni Emirat Arab (4 orang), Laos (2 orang), Singapura (2 orang) dan Bahrain (1 orang).
NTT: Nusa Tragedi Trafficking
Sementara data yang dihimpun oleh Jaringan Nasional (JARNAS) Anti TPPO PMI NTT dalam rilis kepada media ini, Rabu (14/8/19), mencatat bahwa setiap tahun jumlah korban PMI yang meninggal terus meningkat.
Pada tahun 2016, tercatat PMI NTT yang meninggal sebanyak 46 orang (laki-laki 26 orang dan perempuan 20 orang). Dari jumlah itu, hanya 4 orang yang melalui jalur resmi (legal)sementara 42 orang melalui jalur tidak resmi (ilegal).
Pada tahun 2017, jumlah korban yang meninggal meningkat menjadi 62 orang (43 orang laki-laki dan 19 orang perempuan). Hanya 1 orang yang dinyatakan legal sedangkan 61 orang ilegal. Pada tahun 2018, jumlah korban yang meninggal terus meningkat menjadi 105 orang (71 orang laki-laki dan 34 orang perempuan). Dari jumlah itu, hanya 3 orang yang legal dan 102 orang ilegal.
Sementara data per Agustus 2019, tercatat ada 74 jenazah PMI NTT.
Penerapan Hukum Progresif
Jaringan Nasional (JARNAS) Anti-TPPO sebagai salah satu jaringan yang dibentuk atas dasar kesamaan visi dan misi untuk terwujudnya Indonesia yang bebas dari TPPO dan human trafficking, mendorong penegakan dan penerapan hukum yang progresif demi tercapainya keadilan, pemenuhan hak, advokasi berjenjang, rehabilitasi dan reintegrasi bagi korban TPPO secara nasional dan internasional.
Ketua JARNAS Anti-TPPO, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, mengatakan bahwa dalam kasus ancaman hukuman mati kepada 195 PMI, sangat baik jika Indonesia melakukan pendampingan hukum dan lobby politik untuk melindungi hak warga negaranya yang terancam hukuman mati di luar negeri.
“Indonesia masih sangat lalai dalam memberikan perlindungan kepada warga negaranya yang bekerja di luar negeri. Hal ini terlihat pada meningkatnya jumlah korban PMI yang berasal dari NTT. Bahkan, per Agustus 2019 ini, NTT sudah menerima 74 jenazah, namun kasus hukumnya tidak diproses. Ini sangat ironis,” ungkap wanita yang akrab disapa Sara ini.
Anggota DPR RI Komisi VIII ini menekankan bahwa pemerintah Indonesia harus memberi atensi serius dengan melakukan pengawalan khusus terhadap kasus-kasus hukum PMI.
“Hal ini sangat penting dan vital agar keluarga korban biaa mendapatkan hak-haknya,” nilai Sara.
Hal senada diungkapkan Andy Ardian dari ECPAT Indonesia yang juga Sekretaris JARNAS Anti TPPO. Menurutnya, situasi ini merupakan tuaian hasil dari pembiaran yang telah dilakukan oleh negara dalam melindungi hak warga negaranya yang terpaksa bekerja di negeri dan dimanfaatkan oleh sindikat perdagangan orang.
“Situasi kemiskinan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat NTT rentan untuk menjadi korban perdagangan orang. Selain itu, Indonesia juga perlu mewaspadai situasi rentan saat terjadinya bencana sehingga bisa dimanfaatkan oleh sindikat perdagangan orang dengan motif memberikan bantuan,” ujar Andy.
Negara Wajib Hadir
Ketua Bidang Advokasi JARNAS Anti TPPO, Gabriel Goa meminta kehadiran Negara melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memimpin langsung Rapat Koordinasi Nasional Gugus Tugas TPPO yang sedianya akan dilaksanakan di Kupang, NTT pada akhir Agustus 2019 mendatang.
“Negara wajib hadir secara nyata dan maksimal terutama dalam menangani dan memberikan perlindungan hukum bagi korban perdagangan orang,” desak Gebby.
Menurutnya, pihak Aparat Penegak Hukum (APH) belum banyak menggunakan dan menerapkan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Gebby mengaku, berdasarkan pengalaman pendampingan dan advokasi temukan bahwa masih ada oknum APH yang terlibat dalam kasus perdagangan orang tersebut. Ia juga meminta kehadiran dan kerjasama lembaga-lembaga negara.
“Kehadiran lembaga-lembaga Negara sangat diperlukan untuk memberikan akses perlindungan dan pemenuhan hak bagi masyarakat khususnya korban perdagangan orang. Lembaga-lembaga negara perlu bekerjasama dengan Pegiat anti perdagangan orang, lembaga regional dan internasional untuk menyelamatkan PMI yang menjadi korban perdagangan orang,” tandasnya.
JARNAS berharap agar dengan situasi ini, pemerintah lebih mengutamakan agenda perlindungan warga negaranya dari situasi perdagangan orang melalui Gugus Tugas TPPO.