Rapat Koordinasi Perlindungan Anak Dari Eksploitasi

Hari/Tanggal  : 14 Pebruari 2020

Tempat          : Jakarta, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Dalam rangka pelaksanaan mandat Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak mengamanatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai Koordinator pelaksanaan Perlindungan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), melakukan rapat Koordinasi lintas sektor sebagai upaya pencegahan dan penanganan eksploitasi anak.

Pertemuan ini dilakukan dalam rangka melakukan koordinasi terkait dengan kementrian, lembaga dan NGO terkait dengan maraknya masalah prostitusi anak yang terjadi di tahun 2020, mulai dari kasus prostitusi yang terjadi di apartemen Kalibata city, apartemen Jakarta Utara, Depok dan beberapa daerah lainnya.

Kepolisian yang hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan bahwa apartemeb saat ini tidak hanya fungsinya sebagai tempat tinggal tetapi juga sebagai tempat bisnis prostitusi, apartemen kalibata city setiap tahun selalu menjadi target pengoperasian dan kebanyakan korbanny adalah anak-anak. kebanyakan modus yang digunakan oleh pelaku adalah dengan berteman dengan anak-anak melalui media sosial, mulai dari Facebook, IG dan beberapa media sosial lainnya.

Pertemuan ini dihadiri juga oleh private sector dalam hal ini pengelola aparteman Kalibata dan juga apartemen yang berada di Jakarta utara, pihak apartemen mengatakan bahwa yang menjadi kendala dalam penertiban penghuni adalah karena tidak adanya laporan dan selain itu proses penyewaan yang tidak melalui pengelola tapi langsung kepada pemilik apartemen atau pihak ketiga.

Pertemuan ini menghasilkan bahwa point penting diantaranya adalah perlunya memberikan pelayanan yang optimal dalam memberikan perlindungan kepada anak mulai dari perlindungan hukum dan juga pemenuhan hak-hak anak yang menjadi korban komprehensif dan terintegrasi, melakukan kerjasama dengan para pihak untuk meminimal terjadinya kasus-kasus serupa, perlu adanya pembangunan apartemen yang ramah pada anak, perlunya peran aktif dari pengelola apartemen dalam mengurangi terjadinya prostitusi di wilayah apartemen.

Masalah Hukum dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan Modus Pengantin Pesanan

Hari/Tanggal  : 13 Pebruari 2020

Tempat          : Jakarta, KPAI

 

Perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan kian marak terjadi di Indonesia, terutama di Provinsi Kalimantan Barat dan Jawa Barat. Pada periode Januari-Juli 2019, Kemenlu RI menangani 32 kasus pengantin pesanan. Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mencatat 20 kasus TPPO dengan modus pengantin pesanan selama setahun. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyebut 29 perempuan Indonesia menjadi korban pengantin pesanan yang diduga terperangkap dalam modus kejahataan tindak pidana perdagangan orang. Dari jumlah itu 13 perempuan berasal dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, sementara 16 perempuan lainnya berasal dari Jawa Barat.  Dua dari 13 perempuan korban TPPO yang berasal dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat adalah anak di bawah umur. Masalah perdagangan orang dengan modus kawin kontrak atau pengantin pesanan terjadi karena berbagai faktor Kemiskinan dan kesenjangan ekonomi keluarga dan antar daerah menjadi faktor dominan dan merupakan akar persoalan perdagangan manusia. Selain itu, pendidikan yang rendah, pengetahuan yang minim dan keterbatasan informasi memicu terjadinya kasus TPPO.

Perdagangan orang untuk dieskpolitasi seksual dan kerja paksa adalah bentuk yang paling banyak ditemukan, Namun ada juga korban perdagangan orang yang dieskploitasi dengan berbagai cara lain, modus yang berbeda-beda dan dengan tujuan yang berbeda-beda ada yang mulai pengemis, pekerja kebun dan lain-lain. Ada juga perdagangan orang dengan cara melakukan perkawinan secara paksa, penipuan untuk  mendapatkan keuntungan, produksi pornografi atau penghilangan (penjualan) organ tubuh.Perdagangan orang hampir terjadi di setiap negara, karenanya tidak ada satu pun negara yang bebas dari praktik-praktik perdagangan orang. Perdagangan orang bisa terjadi dimana saja, baik itu dalam negeri, antar negara dan bahkan antar benua. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang memberikan pengertian tentang Perdagangan Orang adalah: Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

 

Fenomena perdagangan orang akhir-akhir ini terjadi dengan modus perkawinan atau sering disebut dengan pengantin pesanan, pengantin pesanan ini banyak terjadi baik itu anak maupun berusia dewasa. Dan kebanyakan perkawinan tersebut tidak tercatat secara hukum dan juga banyak yang menggunakan dokumen hukum yang palsu, hal ini tentu akan menambah praktek eskpolitasi terhadap korban yang semakin tinggi, mulai dar ekspolitasi dalam pelacuran, atau eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ-organ tubuh.  Praktek perkawinan pesanan banyak terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, namun yang lebih dominan terjadi di wilayah Jawa Barat, Kalimantan dan juga beberapa daerah lainnya, yang selalu menjadi persoalan dari permasalahan pengantin pesanan ini adalah, bahwa proses penegakan hukum yang tidak dapat terlaksana dengan baik, mengalami kendala karena dianggap bahwa korban mengetahui dan menyetujui untuk menikah dengan orang asing, masalah yang lainnya juga adalah belum terpenuhinya unsur eksploitasi pada korban.

 

Ada beberapa persoalan hukum yang tidak terselesaikan pada masalah perdagangan orang khususnya mengenai pengantin pesanan diantaranya adalah aturan hukum yang belum maksimal khusus dalam menyamakan pandangan ekspolitasi karena dalam perkawinan tidak ada yang namanya eksploitasi, kedua yuridiksi hukum yang berbeda antara negara Indonesia dan negara penerima dan itu selalu menjadi persoalan dalam menyelesaikan masalah perdagangan manusia dengan moodus pengantin pesanan.

 

 

Masalah perdagangan orang terjadi karena adanya berbagai ketimpangan mulai dari ketimpangan ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan lain-lain. Ketimpangan inilah yang menjadi banyak korban terjerat dalam jeratan hutang yang dialami oleh korban dan keluarga korban. Pertemuan ini menghasilkan beberapa rekomendasi diantaranya adalah: harus memperkuatkan sub gugus tugas antara pusat dan daerah, Memperkuat kemitraan dengan stakeholder dan memiliki visi yang sama dalam memberikan Perlindungan optimal untuk anak Indonesia, melakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, melakukan kerjasama dengan negara-negara tujuan untuk memberikan perlindungan warga negara Indonesia di negara tujuan dan bahkan sangat diperlukan untuk penegakan hukum secara hukum internasional.

 

Human trafficking thriving in ASEAN

Recently, 39 people were found dead in a refrigerated trailer in Britain. While the victims were initially identified as Chinese, it has since been found that at least 20 were, in fact, Vietnamese, and almost all from the same – considered poor – province of Nghe An. This was after the victims’ families came forward saying they feared their relatives were in the doomed truck.

Britain has been a prime destination for Vietnamese migrants for a long time now, thanks to well-entrenched criminal networks offering work – though often at lower salaries than promised.

The poor central provinces of Vietnam are riddled with people smugglers and brokers with underground contacts stretching across the world. Families sell land or take on huge loans for the journeys, believing the investment will eventually pay itself back several times over.

The tragic incident involving 39 victims was not the first of its kind in the United Kingdom (UK). In 2000, 58 Chinese migrants from Fujian were found suffocated to death in a lorry at the port of Dover, in England’s South Eastern county of Kent. Soon after, in 2004, 21 migrants from Fujian, working as cockle-pickers, drowned when they were caught by treacherous tides in Morecambe Bay.

The recent news only serves to draw focus to a long-time scourge that has been plaguing the Southeast Asian region: human trafficking.

For ASEAN, human trafficking has been a constant thorn in the sides of its governments. The battle has been raging on for every ASEAN country in the region, and while some governments have been more successful than others, every ASEAN member continues to face challenges.

The Asia Pacific, in fact, might be facing a bigger problem than the rest of the world when it comes to human trafficking. According to the 2016 Global Slavery Index by Walk Free, some 25 million people are trapped in modern slavery in the Asia Pacific region. This accounts for 62 percent of the estimated global total.

The United States (US) Department of State’s Trafficking in Persons Report 2019, states that, in the case of Vietnam, traffickers typically subject victims to forced labour in construction, fishing, agriculture, mining, logging, and manufacturing, and that they are primarily trafficked to Angola, Japan, Lao, Malaysia, the Republic of Korea, Taiwan, and the United Arab Emirates.

The report also acknowledges, however, that there are increasing reports of Vietnamese labour trafficking victims in the UK and Ireland, including for work on cannabis farms.

Since its (US Department of State) previous report in 2018, things continue to look grim for ASEAN, with the exception of the Philippines. Countries such as Brunei and Cambodia dropped from Tier 2 to Tier 2 Watchlist while most countries maintained their previous placings, largely located within Tier 2. The Philippines is the only ASEAN country that managed to continue being placed in Tier 1. Meanwhile, Myanmar performed the poorest and is placed in Tier 3.

Tier placement in the trafficking in persons report
Source: US Department of State

Children too

In the case of Vietnamese being trafficked to the UK, it’s important to point out that the victims aren’t just adults – many are also children.

This was revealed in a report titled “Precarious journeys: Mapping vulnerabilities of victims of trafficking from Vietnam to Europe” released in March. The report was funded by the UK Home Office, while the study was jointly conducted by Anti-Slavery International, Every Child Against Trafficking UK (ECPAT UK) and the Pacific Links Foundation.

According to the report, over a period of one and a half years, researchers investigated the issue of human trafficking from Vietnam to the UK and throughout Europe, specifically Poland, the Czech Republic, France and the Netherlands. The latest figures by the National Referral Mechanism, which identifies and protects victims, revealed that more than 3,100 Vietnamese adults and children were identified as victims of trafficking.

A typical journey took children from Vietnam to Russia by plane, and then overland through Belarus, Ukraine, Poland, Czech Republic, Germany, the Netherlands and France, according to the authors. Meanwhile, more routes to Europe through South America are emerging, they added.

Vietnam is only one of the ASEAN states which has to face the reality of human trafficking. While today, eyes are on Vietnam following the recent tragedy, the truth is that each ASEAN country has its own horror story to share. And so, the war against human trafficking continues.

Source: https://theaseanpost.com/article/human-trafficking-thriving-asean

PERLUNYA KOLABORASI BERBAGAI PIHAK DALAM PEMULIHAN KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TPPO)

Jakarta,  24 Oktober 2019, Perdagangan orang merupakan salah satu persoalan yang sangat besar, namun juga sebagai salah satu bisnis yang menggiurkan karena sangat menguntungkan karena memiliki keuntungan yang sangat besar.

 

Parinama Astha yang merupakan salah satu lembaga yang selama ini fokus pada isu perdagangan manusia, telah melakukan pendampingan kepada korban perdagangan orang, mulai dari proses hukum (peradilan) sampai pada proses re-integrasi sosial. Sebagaimana pada Oktober ini, Parinama Astha telah melakukan pemulangan satu korban perdagangan orang, berinisial (R) yang berasal dari Jawa Barat. Hal yang dilakukan adalah melakukan pertemuan dengan keluarga, memastikan bahwa korban dapat diterima dengan baik oleh keluarga dan masyarakat. Langkah lain yang telah dilakukan oleh Parinama Astha adalah melakukan pertemuan dengan pihak terkait sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban.

 

Dalam pertemuan tersebut, Parinama Astha berdiskusi dengan Sekertaris Camat (Arif), Bidan Eva dan Dokter Indri, pertemuan tersebut menjelaskan kondisi kesehatan korban, dan rencana tindak lanjut ke depannya. Dalam pertemuan tersebut Parinama Astha menyampaikan komitmennya untuk membantu korban agar cepat pulih dan dapat kembali ke keluarga dengan baik.

 

Dalam pertemuan terpisah ketua sekaligus pendiri Parinama Astha, Ibu Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, menyampaikan bahwa masalah perdagangan orang itu sangat kompleks, mulai dari masalah kemiskinan, penegakan hukum dan proses pemulihan dan pemulangan korban, dan dalam kasus ini perempuan yang biasa disapa Sara ini menyampaikan bahwa dalam rangka pemulihan korban, sangat diperlukan kerjasama dari berbagai pihak mulai dari keluarga, masyarakat, pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya.

 

Sara mengajak masyarakat, untuk bersama-sama membentuk sindikat anti perdagangan orang, “Kita harus bersindikat, pelaku perdagangan orang bersindikat, maka kita pun juga harus bersindikat untuk menghadang dan menghentikan langkah-langkah pelaku perdagangan orang”.

PENTINGNYA KERJASAMA ANTARA LEMBAGA UNTUK PEMENUHAN HAK KORBAN HUMAN TRAFFICKING

Jakarta, Agustus 2019, Masalah perdagangan orang, tidak terlepas adanya proses, cara dan tujuan dari tindakan yang telah dilakukan oleh para sindikat perdagangan orang, kebanyakan pelaku perdagangan orang merupakan orang terdekat, antara lain ada keluarga, teman dan juga orang lain yang dikenal oleh korban ataupun keluarga korban.

 

Banyak pekerja baik itu pekerja domestik maupun yang bekerja ke luar negeri yang mengalami masalah, mulai dari proses keberangkatan, penempatan sampai pada proses pemulangan  ke Indonesia, dan kebanyakan yang mengalami masalah secara hukum adalah pekerja yang keberangkatannya secara non prosedural.

 

Dalam penanganan kasus perdagangan orang sangat membutuhkan adanya kerjasama lintas sektor, dan selama ini kerjasama lintas sektor masih banyak mengalami kendala, khususnya berkaitan dengan pemulangan dan re-integrasi korban perdagangan orang ke keluarga dan masyarakat.

 

Berdasarkan situasi dan kondisi di atas, maka pada tanggal 29 Juli 2019 di Jakarta, Yayasan Parinama Astha menandatangani perjanjian kerjasama dengan Yayasan Embun Pelangi yang berkantor di Batam, Kepulauan Riau. MOU ini penting untuk merealisasikan pemenuhan hak-hak korban perdagangan orang khususnya proses pemulangan dan re-integrasi korban.

 

Ketua Yayasan Parinama Astha Rahayu Sasraswati Djojohadikusumo, mengatakan bahwa kerjasama ini dilakukan mengingat Kota Batam sebagai salah satu tempat transit dan juga sebagai tempat tujuan dari banyaknya pekerja, baik itu yang bekerja ke luar negeri maupun untuk bekerja di Batam saja. Banyak kasus Pekerja baik itu pekerja domestik maupun ke luar negeri yang keberangkatannya secara non prosedural. Sara menambahkan, bahwa kebanyakan keberangkatan yang secara non prosedural pasti dapat dikatakan adanya tindakan trafficking.

 

Perempuan yang juga anggota Komisi 8 DPRR- RI ini mengatakan bahwa kerjasama ini dilakukan untuk bersama-sama dengan Yayasan Embun Pelangi guna memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban trafficking, khususnya berkaitan dengan pemulangan korban dari Batam ke daerah tempat tinggal korban, selain itu akan ada proses re-integrasi bagi korban, dan ini harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan korban, hal ini sangat penting agar proses re-integrasi tepat sasaran.

 

Sementara Direktur Yayasan Embun Pelangi Irwan Setiawan mengatakan bahwa kerjasama ini merupakan langkah yang baik, khusus berkaitan dengan pemulangan korban trafficking dari Batam, selanjutnya akan ada kerjasama lainnya untuk melakukan pertemuan Nasional yang akan dilaksanakan di Batam.

 

Narahubung:

Ermelina Singereta, SH (Public Lawyer) : 0812. 1339.904

Romo Paschal: Semoga Jadi Kado Kemerdekaan Bagi Korban Perdagangan Orang

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengundang dan meminta kesediaan rohaniawan Katholik, Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus, untuk dianugerahi penghargaan dari lembaga tersebut.

LPSK memandang Romo Paschal sebagai sosok yang berjasa memberikan layanan perlindungan dan bantuan kepada korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

LPSK mengucapkan terima kasih dan memberikan apresiasi atas kontribusi besar Romo Paschal yang selama bertahun-tahun secara intensif memberikan bantuan dan perlindungan bagi para saksi dan korban TPPO.

Lantaran itu, bertepatan hari ulang tahun LPSK pada Rabu 28 Agustus 2019 ini, LPSK mengundang dan memohon kesediaan Romo Paschal untuk berkenan menerima penghargaan LPSK.

Penyerahan penghargaan itu akan diserahkan di Kantor LPSK, Jalan Raya Bogor No 47-49, Jakarta Timur.

Menanggapi rencana penganugerahan penghargaan LPSK tersebut, melalui pesan Whatsapp kepada Suryakepri.com, Jumat (16/8/2019), Romo Paschal hanya berkomentar singkat.

“Semoga ini jadi kado kemerdekaan untuk semua mereka yang menjadi korban perdagangan orang.”

 

Sumber: https://suryakepri.com/romo-paschal-semoga-jadi-kado-kemerdekaan-bagi-korban-perdagangan-orang/

74 Peti Jenazah jadi Kado Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 74

Jakarta, 14 Agustus 2019, Tujuh puluh empat tahun Indonesia merdeka, belum menjamin Indonesia bebas dari masalah perdagangan orang. Masalah Pekerja Migran Indonesia (PMI) selalu mengalami masalah baik yang berada di dalam proses pemberangkatan maupun yang telah berada di luar Negeri.

Berdasarkan data Kementrian luar negeri, yang diberitakan Media Cetak Kompas menunjukan adanya seratus sembilan puluh lima (195) Pekerja Migran Indonesia yang terancam hukuman mati yang berada di beberapa negara diantaranya adalah Malaysia berjumlah seratus lima puluh empat (154) orang, Arab Saudi berjumlah dua puluh (20) orang, Cina berjumlah dua belas (12) orang, Uni Emirat Arab berjumlah empat (4) orang, Laos berjumlah dua (2) orang, Singapura dua (2) orang dan Bahrain satu (1) orang.

Sementara data yang telah dihimpun oleh JarNas Anti TPPO PMI NTT, dimana PMI yang meninggal mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data PMI NTT yang meninggal pada Tahun 2016 sebanyak empat puluh enam (46) orang, laki-laki 26 orang dan perempuan 20 orang, dan 4 orang yang prosedural dan 42 orang yang non prosedural.

Data 2017 DPMI yang meninggal sebanyak 62 orang, 43 orang laki-laki dan 19 orang perempuan, 1 prosedural dan 61 non prosedural. Tahun 2018 mengalami peningkatan menjadi 105 PMI yang meninggal 71 orang laki-laki dan 34 orang perempuan, 3 prosedural dan 102 non prosedural dan data per Agustus 2019 menunjukan ada 74 jenazah.

Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (JARNAS) yang merupakan salah satu jaringan yang dibentuk atas dasar kesamaan visi dan misi untuk terwujudnya Indonesia yang bebas dari tindak pidana perdagangan orang, mendorong penegakan dan penerapan hukum yang progresif demi tercapainya keadilan bagi korban TPPO dan melakukan advokasi pemenuhan hak-hak korban dan sistem rehabilitasi pelaku TPPO secara nasional dan internasional.

JarNas Anti TPPO yang diketuai oleh Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, mengatakan bahwa dalam kasus seratus sembilan puluh lima (195) PMI yang terancam hukuman mati, sangat baik Indonesia melakukan pendampingan hukum dan lobby politik untuk melindungi warga negaranya yang terancam hukuman mati di luar negeri. Selain itu perempuan yang biasa dipanggil dengan Sara ini juga mengatakan, Indonesia masih sangat lalai dalam memberikan perlindungan warga negaranya yang bekerja di luar negeri. Hal ini terlihat pada meningkatnya kasus pemulangan jenazah PMI yang berasal dari NTT, dimana setiap tahun mengalami peningkatan, dan pada Agustus 2019 ini, NTT telah menerima tujuh puluh empat (74) jenazah yang telah dipulangkan, dan kasus hukumnya tidak diproses.

Sara yang juga anggota Komisi 8 DPR RI ini mengatakan bahwa sangat baik jika pemerintah Indonesia melakukan pengawalan pada kasus-kasus hukum PMI. Hal ini sangat penting agar keluarga korban bisa mendapatkan hak-haknya.

Andy Ardian dari ECPAT Indonesia yang juga Sekretaris JarNas Anti TPPO mengatakan bahwa situasi ini merupakan tuaian hasil dari pembiaran yang telah dilakukan oleh negara dalam melindungi warga negaranya yang terpaksa bekerja keluar negeri dan dimanfaatkan oleh sindikat perdagangan orang. Andy pun mengatakan situasi kemiskinan yang menyebabkan masyarakat NTT rentan untuk menjadi korban perdagangan orang, selain itu Indonesia juga perlu mewaspadai situasi kerentan saat terjadinya bencana, sebagai negara yang sangat rawan terjadi bencana situasi ini dimanfaatkan oleh sindikat perdagangan orang dengan motif memberikan bantuan.

Selain itu Gabriel Goa (Direktur Padma) yang juga Ketua Bidang Advokasi JarNas Anti TPPO mengatakan, bahwa dalam menangani dan memberikan perlindungan hukum bagi korban perdagangan orang masih belum maksimal karena aparat penegak hukum belum banyak menggunakan dan menerapkan UU No.21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, selain itu berdasarkan pantauan dan pengalaman pendampingan menunjukan bahwa masih ada oknum APH yang terlibat dalam kasus perdagangan orang.

Selain itu sangat diperlukan kehadiran Lembaga Negara untuk memberikan akses yang lebih mudah bagi masyarakat khususnya bagi korban Perdagangan Orang dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban. Laki-laki yang biasa dipanggil dengan Gabby ini mengatakan lembaga-lembaga negara perlu bekerjasama dengan Pegiat anti perdagangan orang, lembaga regional dan internasional untuk menyelamatkan PMI yang menjadi korban perdagangan orang.

JARNAS berharap dengan situasi ini, pemerintah lebih mengutamakan agenda perlindungan warga negaranya dari situasi perdagangan orang, dan mendorong Presiden untuk memimpin langsung Rapat koordinasi Nasional Gugus Tugas TPPO yang akan dilaksanakan di Kupang NTT yang direncanakan akan dilaksanak pada akhir Agustus 2019.

Narahubung:
Gabriel Goa: 0813.6028.5235, Andi Ardian 0813.6156.3988

Anggota JarNas: Parinama Astha, ECPAT Indonesia, PADMA Indonesia, LBH Apik Jakarta, Yayasan Bandungwangi, YKAI, Yayasan Anak Perempuan, CWTC, Yayasan Bahtera Bandung, Yayasan Embun Pelangi Batam, PKPA Medan, LADA Lampung, Asa Puan Sambas, Asosiasi Peksos Singkawang, Lembaga Kita Wonosobo, Setara Semarang, Kakak Solo, SCC Surabaya, YKYU Manado, LBH Apik Bali, Gerasa Bali, Lentera Anak Bali, Project Karma Bali, Yayasan Santai Lombok, WADAH NTT, Yayasan Donders dan anggota Individu.

Parinama Astha Inisiasi Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)

Jakarta, — Human trafficking atau perdagangan orang, saat ini dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Bahkan Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) menjadi kejahatan terbesar kedua di dunia setelah narkotika. Dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Againts Gender Violence), kampanye ini mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.

Di Indonesia, masalah perdagangan manusia meningkat terus. “Ironisnya, masyarakat umum belum begitu mengetahui dan menyadari bahwa ini adalah salah satu permasalahan yang sangat nyata dan mengancam Indonesia, negara yang masih berkembang, dengan banyaknya rakyat yang masih hidup dalam kemiskinan,” kata Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, yang biasa disapa dengan nama Sara, Pendiri dan Ketua Yayasan Parinama Astha (ParTha). Maka karena itu dalam rangka memperingati 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan tersebut diatas, Parinama Astha menginisiasi pertemuan nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang yang melibatkan para pegiat kemanusiaan yang fokus pada permasalahan perdagangan manusia di Indonesia.

Menurut keterangan dari Trafficking in person Report Indonesia, yang dikeluarkan oleh Kedutaan Amerika, dimana disampaikan bahwa pemerintah Indonesia belum memenuhi standar minimum pemberantasan perdagangan orang, akan tetapi ada upaya-upaya lebih banyak melakukan penyelidikan, penuntutan, penjatuhan hukuman kepada para pelaku perdagangan manusia dan melakukan identifikasi lebih banyak kepada korban. Maka upaya yang akan dilakukan ke depannya adalah dengan melakukan lebih banyak penyelidikan, penuntutan, penjatuhan hukuman kepada para pelaku perdagangan orang baik itu personal maupun koorporasi yang dimana saat ini masih sangat minim.

Pertemuan ini dilaksanakan selama dua hari, dan bertujuan untuk memperkuat kerja-kerja pendampingan dan pemberantasan TPPO di Indonesia. Menurut Sara pertemuan nasional ini adalah satu langkah awal khususnya bagi jaringan TPPO di Indonesia, agar dapat bekerja lebih efektif terkoordinir dan menghasilkan efek yang lebih maksimal bagi korban dan juga pelaku TPPO.

Andy Ardian dari Program Manajer ECPAT Indonesia mengatakan, pertemuan ini cukup strategis untuk menyatukan kembali kerja-kerja bersama dalam upaya penanggulangan TPPO. Andi berharap jaringan ini juga bisa bersinergi dengan jejaring dan pemangku kepentingan lainnya untuk saling mengisi kerja-kerja yang selama ini belum tertanggulangi.

Perwakilan LBH Apik Jakarta Said Niam mengatakan bahwa pertemuan sangat penting untuk membangun sinergitas antara daerah, untuk mengisi kekurangan lembaga yang satu dengan lembaga yang lain dalam memberikan perlindungan kepada korban, Said pun menambahkan bahwa jaringan ini akan menjadi lebih baik ke depannya dalam memberantas TPPO.

Sementara Direktur Bandungwangi, Endang Supriyati mengatakan bahwa pertemuan ini untuk menghadirkan jaringan yang efektif, dan sangat berkesusaian dengan kerja-kerja dari Bandungwangi yang melakukan pendampingan langsung kepada korban ESKA. Endang Supriyati berharap jaringan ini sebagai media untuk memudahkan dalam mengakses layanan yang dibutuhkan oleh korban.

Pertemuan ini juga menghadirkan Bapak Tamami, Direktur Bahtera dan mengatakan bahwa jaringan ini harus menjadi kekuatan untuk menekan pemerintah dan kepolisian, khususnya daerah Jawa Barat yang merupakan daerah sending terbesar buruh migran atau pun pekerja lokal. Pertemuan ini akan menjadikan skala prioritas dalam memberikan perlindungan bagi korban ke depannya.

Pertemuan ini menghasilkan beberapa rekomendasi yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu Pencegahan dan Kerjasama dengan melakukan edukasi, roadshow, riset, pengumpulan data, membuat dan mempererat jaringan dengan melakukan rapat tahunan, Litigasi dengan melakukan kerjasama dengan APH (Kepolisian, Jaksa dan Hakim), kementrian , melakukan diskusi terkait dengan persoalan TPPO dan melakukan pendampingan terhadap korban dan re-integrasi dengan melakukan assessment, dan program kembali ke masyarakat, perlindungan korban melalui save house, melakukan pembekalan dan pemberdayaan terhadap korban, untuk pembentukan susunan kepengurusan jaringan yang akan mengawal kerja-kerja jaringan ini ke depannya.

 

Meniti Harapan Pada Negeri Cincin Api

Press Release

(Pertemuan Jaringan di Labuan Bajo)

Meniti Harapan Pada Negeri Cincin Api”

Jakarta, November 2018,

 

 

Yayasan Parinama Astha ikut terlibat dalam Pertemuan Consultative Group Meeting On Anti Human Trafficking  In Indonesia and Timor Leste yang dilaksanakan di Hotel Luwansa Labuan Bajo, NTT. Pertemuan ini bertemakan “Meniti Harapan Pada Negeri Cincin Api.

 

Persoalan perdagangan manusia banyak terjadi di Indonesia, baik di dalam negeri maupun yang di luar negeri, sebagaimana disampaikan oleh Romo Paul Rahmat (Ketua Panitia) yang menyatakan bahwa kasus Trafficking di NTT  sangat banyak, rata-rata ada 9 (sembilan) Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang meninggal di luar negeri. Jumlah ini cenderung meningkat setiap tahunnya.

 

Pertemuan konsultasi ini dibuka oleh Wakil Gubernur NTT, Bapak Yosef Nae Soi, dan dihadiri oleh Bupati Manggarai Barat Bapak Agustinus Ch Dulla, jajaran FORKOPIMDA dan pimpinan SKPD Manggarai Barat. Pada pertemuan tersebut, Wakil Gubernur NTT menyampaikan bahwa Gubernur NTT Bapak Victor Laiskodat membuatkan aturan baru dengan memoratoriumkan keberangkatan TKI NTT ke luar negeri, walaupun kebijakan ini menuai pro dan kontra dari masyarakat.

 

Pertemuan ini dihadiri oleh 46 orang yang mewakili berbagai lembaga seperti LSM Lokal dan Nasional, Lembaga berbasis agama, pemimpin agama, perwakilan pemerintah, aparat penegak hukum, lembaga peneliti dan media, Lembaga Internasional seperti IOM dan ILO dan para penyintas perdagangan manusia dari seluruh Indonesia dan Timor Leste. Terbangunnya kerjasama yang lebih erat dan jejaring nasional yang menghubungkan daerah-daerah yang rawan terhadap persoalan Perdagangan manusia di Indonesia dan Timor Leste merupakan hasil yang dicapai dari Pertemuan Consultative Group Meeting On Anti Human Trafficking  In Indonesia and Timor Leste ini.

 

Data BNP2TKI (2017) yang terdapat pada Sistem  pengaduan di Pusat Krisis milik Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menunjukkan bahwa BNP2TKI menerima 4.475 pengaduan dari pekerja yang ditempatkan di luar negeri, termasuk 71 kasus yang dipastikan sebagai perdagangan manusia dan 2.430 kasus yang memiliki indikator perdagangan manusia.[1] Sementara data ECPAT Indonesia pada tahun 2017, menunjukan kasus perdagangan anak untuk tujuan seksual yang terjadi dalam negeri sebanyak 537 kasus.[2] Data ini belum maksimal karena sampai sejauh ini belum ada lembaga khusus yang bertugas untuk mendata perdagangan manusia untuk tujuan dieksploitasi.

Pada pertemuan terpisah, Ketua Yayasan Parinama Astha (ParTha), Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, atau yang dikenal sebagai Sara, menyampaikan bahwa persoalan perdagangan manusia terjadi karena adanya ketimpangan ekonomi.

“Saudara/saudari kita tidak perlu mencari pekerjaan di luar negeri jika di negara mereka sendiri ada lapangan pekerjaan yang memadai dan sistem pendidikan yang dapat menghantarkan anak-anak kita ke pekerjaan yang layak. Tidak ada ibu yang mau meninggalkan anaknya selama bertahun-tahun jika bukan karena keharusan,” ujar pendiri yayasan yang telah didirikannya sejak 2012 ini.

Sara menambahkan bahwa persoalan perdagangan manusia tidak hanya terjadi untuk mereka yang berangkat ke luar negeri, namun perdagangan manusia juga terjadi untuk mereka yang ada dalam negeri, banyak anak-anak yang diperdagangkan untuk dieksploitasi, baik itu secara fisik maupun seksual.

Oleh sebab itu, ParTha hadir dengan memperjuangkan rumah aman dan pemulihan bagi para korban, melakukan sosialisasi kepada masyarakat, anhak muda dan pihak terkait lainnya mengenai perdagangan manusia dan juga ikut terlibat dalam melakukan advokasi bersama dengan lembaga lainnya untuk melawan perdagangan orang di Indonesia.

[1] https://id.usembassy.gov/id/our-relationship-id/official-reports-id/la, diunduh pada tanggal 19/11-2018, pukul 23.03

[2] https://ecpatindonesia.org/berita/catatan-ecpat-indonesia-tahun-2017-404-anak-menjadi-korban-eska/

SPK Kerjasama antara Parinama Astha dengan LBH APIK

Jakarta, 07 November 2018

 

Tak dapat dipungkuri berbagai laporan dari lembaga negara serta para pegiat aktivis sosial yang bekerja pada isu perdagangan manusia masih mendapatkan tantangan dan hambatan besar. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya korban berjatuhan terkait tindak pidana perdagangan manusia.

 

Laporan dari pihak kepolisian dari 123 kasus TPPO baru 110 yang diproses banding. Sementara di MA sendiri sudah ada 51 berkas yang diproses, sementara 407 penuntutan kasus selama 2017. Hal ini meningkat 263 dari penuntutan sebelumnya. Data ini justru jauh berbeda dari apa yang dilaporkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat yang konsern pada isu TPPO. Dari berbagai data dan informasi yang ditemukan bahwa ada problem koordinasi antar lembaga negara telah menghambat upaya pemerintah untuk menyelidiki, menuntut, dan menghukum para pelaku, terutama ketika pada kasus yang melibatkan sejumlah wilayah yuridiksi atau negara lain. Unit Tindak Pidana Perdagangan Orang Kepolisian Republik Indonesia tidak memiliki mekanisme untuk melacak investigasi di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten, sehingga mempersulit mereka dalam menentukan total jumlah investigasi dan kasus yang terselesaikan.

 

Berangkat dari persoalan tersebut, bertempat di Kantor LBH APIK Jakarta, telah ditandatangani kerjasama antara Parinama Astha atau biasa dikenal dengan Parthadengan LBH APIK dalam rangka mempermudah kerja-kerja advokasi Pemberantasan Perdagangan Manusia. Perjanjian ini di tandatangi oleh kedua pimpinan lembaga dan diharapkan menjadi model pengelolaan dan kerjasama antar lembaga yang konsern pada perdagangan manusia.

 

Menurut Ketua Yayasan Partha , Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, atau biasa dikenal dengan Sara, bahwa kerjasama ini mempermudah kedua lembaga untuk penananan kasus baik dari proses awal hingga pemulihan. “ Kerjasama ini sudah lama direncanakan dan kemudian baru Perjanjian Kerjasama di tandatangani”, imbuhnya. “Sebenarnya kami sudah bekerjasama sebelum ada PKS ini, namun karena ada beberapa kendala dilapangan, maka kami sepakat untuk membuat sebuah kesepakatan dengan tujuannya adalah memperkuat jaringan dan memberikan harapan lebih pasti pada penyintas”, demikian Sara menambahkan.

 

Demikian juga dengan Direktur LBH APIK Jakarta, Siti Mazumah atau biasa di panggil Zuma, menerangkan bahwa banyak pekerjaan dalam melawan perdagangan manusia, dan menyambut baik kerjasama dengan Parinama Astha. “ Kami berterimakasih kepada Yayasan Partha yang sudah mau bekerjasama dengan kami sebagai lembaga yang fokus pada litigasi korban. Dan Partha memberikan peran berbeda dalam kerjasama penanganan yakni pemulihan dan pemberian rumah aman bagi korban TPPO”, ucapnya.

 

Dalam kegiatan perjanjian kerjama tersebut juga dilaksanakan diskusi dengan para penyintas yang telah mampu pulih dan berdaya. Diantara hasil karya mereka dengan memproduksi produk-produk makanan yang gurih dan enak. Pada kesempatan tersebut, Partha memborong hasil olahan makanan dari penyintas tersebut, sebagai bentuk dukungan terhadap para penyintas. (IH)