Jakarta, Ketua Bidang Pengembangan Peranan Perempuan Tunas Indonesia Raya (Tidar) Rahayu Saraswati mendukung aparat kepolisian mengusut tuntas kasus pemerkosaan dan pemaksaan pelacuran terhadap seorang remaja berinisial PU (15) yang diduga melibatkan AT (21), anak seorang anggota DPRD Bekasi.
Menurutnya, berdasarkan bukti psikologis dan fisik, serta kesaksian korban, sudah cukup bagi aparat penegak hukum untuk menegakkan keadilan dengan menggunakan UU 35/2014 tentang Perubahan UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
“Saya beserta Yayasan Parinama Astha mendukung adanya penjatuhan hukuman yang seberat-beratnya kepada tersangka pelaku AT,” kata Rahayu dalam keterangan pers yang diterima, di Jakarta, Rabu (2/6/2021).
Tak hanya terhadap AT, Rahayu meminta aparat penegak hukum untuk memburu sejumlah pelaku lain yang masih bebas dari jeratan hukum, terutama pihak-pihak yang melakukan pemerkosaan terhadap PU selama mengalami pemaksaan pelacuran oleh pelaku.
Menurut Rahayu, setiap pihak tersebut berdasarkan UU telah melakukan hubungan intim dengan anak di bawah usia 18 tahun dalam konteks pelacuran dan eksploitasi seksual. Dengan demikian, kejahatan tersebut masuk dalam kategori pelaku perdagangan anak.
“Kami meminta agar pihak aparat penegak hukum juga menggunakan kekuatan cyber crime unit untuk mengejar para pengguna jasa dan klien perdagangan anak,” tegasnya.
Rahayu mengatakan, yang tidak kalah pentingnya adalah proses pemulihan dan hak restitusi bagi korban. Untuk itu, Rahayu meminta pihak kepolisian bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang diamanatkan oleh UU 31/2014 tentang Perubahan UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban untuk memberikan keadilan dan pemenuhan hak bagi korban dan keluarganya.
“Yayasan Parinama Astha yang memang fokus bergerak dalam perlawanan perdagangan orang akan terus mengawal prosesnya kasus ini sampai tuntas,” katanya.
Rahayu menjelaskan, selama sembilan bulan berpacaran dengan AT, PU mengalami berbagai macam kekerasan. Saat keluarga korban membawanya ke kepolisian untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya terungkaplah berbagai kekejaman yang diduga dilakukan oleh pelaku terhadap korban, mulai dari pemerkosaan sampai dengan pemaksaan pelacuran.
“Dari informasi yang saya dapatkan, dampak yang dialami oleh korban adalah secara mental, fisik dan seksual, di mana sang korban pun harus melalui tindakan medis,” kata Rahayu.
Rahayu mengungkapkan keprihatinan atas kasus ini. Apalagi, adanya upaya pelaku untuk berdamai dengan cara menikahi korban. Ditegaskan, kata-kata bertanggung-jawab dalam kasus ini hanyalah topeng yang digunakan pelaku untuk menghindari hukuman. Sayangnya, ungkap Rahayu, fenomena pemerkosa mengeklaim akan bertanggung demi menghindari proses hukum terlalu sering terjadi dan sudah saatnya diakhiri.
“Kami mendengar kesaksian para pendamping korban pemerkosaan di daerah-daerah yang harus berhadapan dengan pihak keluarga dan bahkan aparat penegak hukum yang justru mendorong agar pelaku dan korban menikah semata-mata agar terhindar dari stigma dan aib, dan juga menghindar adanya tuntutan hukum dan prosesnya yang bisa berkepanjangan. Pandangan dan sikap seperti ini harus disudahi,” katanya.
Menurutnya, tindak pidana pemerkosaan di dalam hubungan berpacaran sayangnya kerap terjadi, namun di negara seperti Indonesia, pembuktian masih sangat berat karena beban ditekankan kepada korban untuk membuktikan bahwa kekerasan seksual itu betul terjadi. Kekerasan seksual ini bisa terjadi saat ada intimidasi dan pemaksaan dari pihak pelaku, bahkan sering kali tidak terlepas dari kekerasan fisik. Juga ancaman penyebaran foto dan video.
“Rayuan seperti ‘Kalau kamu sayang sama aku, kamu harusnya mau berhubungan intim denganku’ bukan hal yang aneh lagi. Belum lagi jika setelah kejadian, pelaku mengintimidasi sang korban dengan revenge porn di mana pelaku mengancam korban bahwa jika dia tidak mau melayaninya lagi atau jika dia memberitahukan kepada orang lain, maka foto atau video yang diambilnya akan disebarluaskan. Karena, terlepas dari adanya penegakan hukum bagi pelaku sebagai penyebar konten pornografi maupun kondisi mental korban saat kejadian, sang korban pasti tetap akan terkena dampak sosial.