TEMPO.CO, Jakarta – Rahayu Saraswati, sosialita, anak kedua pengusaha Hashim Djojohadikusumo barangkali lebih dikenal sebagai artis.
Pergumulan Rahayu Saraswati dengan gerakan anti perdagangan manusia bisa dibilang bermula secara tak sengaja, di Konferensi Hillsong di London 2009 lalu. Sempat tak berminat datang, Sara–panggilan akrabnya–kemudian menghadiri konferensi gereja tersebut karena pembicara favoritnya ikut berkotbah di sana.
Di sana Sara mendapat ‘bonus’, pencerahan dari Pendeta Christine Caine, mengenai perdagangan manusia. “Saya tergugah ketika mengetahui banyak gadis harus melayani hingga 40-60 laki-laki per hari,” ujarnya ketika ditemui di kantornya di Jakarta, Kamis 11 April 2013.
Dari sana, Sara menemukan panggilan hidup keduanya setelah akting, yaitu melawan perdagangan manusia di Indonesia. Ia memutuskan untuk bergerak.
“Di kepala saya saat itu, pasti sudah ada orang atau lembaga yang fokus di bidang ini,” kata anak kedua pengusaha Hashim Djojohadikusumo ini. Ia mulai mencari informasi mengenai hal ini di sela waktu senggangnya membintangi trilogi film Merah Putih, Darah Garuda dan Hati Merdeka, sebagai Senja. Sayang, perempuan berumur 27 tahun ini tak juga menemukannya.
Sara sempat bergabung dengan yayasan Wadah Titian Harapan yang dipimpin ibunya untuk mensosialisasikan anti perdagangan manusia, namun kemudian memutuskan untuk membuat yayasan sendiri yang fokus mengurusi masalah ini. Lahirlah Yayasan Parinama Astha pada Maret tahun lalu.
“Awalnya hanya ingin dibuat sebagai ormas, namun karena kami juga ingin masuk ke ranah kebijakan pemerintah, dibentuklah sebagai yayasan agar aspek legalitas lebih kuat” ujarnya.
Saat ini Sara baru mulai merintis Parinama Astha, dengan menjaring orang-orang maupun lembaga yang memiliki kepedulian terhadap perdagangan manusia.
“Setidaknya kami memiliki jaringan. Para penjual manusia itu kan mafia yang terorganisasi, jadi kami jangan kalah juga,” kata Sara. Sayang, sampai saat ini ia mengaku masih susah mencari orang yang memiliki visi sama dengannya.