Posisi Perempuan yang berhadapan dengan hukum

Hari/Tanggal  : 27 Pebruari 2020

Tempat          : Oria Hotel

Indonesia telah meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984. Konvensi ini secara umum mengatur mengenai upaya-upaya yang harus dilakukan oleh negara-negara peserta dalam memberikan jaminan dan perlindungan terhadap perempuan dari segala macam bentuk kekerasan dan perlakuan diskriminatif, serta menjamin adanya persamaan hak dan kesetaraan gender. Hal ini juga selaras dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, tepatnya dalam Pasal 28 I Ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.

Selain itu Indonesia juga telah menerbitkan beberapa peraturan terkait lainnya sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan, diantaranya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan peraturan lainnya baik yang bersifat nasional, regional, maupun institusional.

Walaupun masih banyak berbagai peraturan tersebut, namun praktek diskriminatif terhadap perempuan masih sangat sering terjadi. Perlakuan diskriminatif tersebut disebabkan oleh kultur masyarakat yang mayoritas masih menganut sistem patriarki, dimana dalam sistem ini perempuan memiliki kedudukan yang lebih rendah daripada laki-laki. Kebiasaan ini sangat mengakar mulai dari tindakan marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, hingga terbatasnya akses perempuan dalam memperoleh hak-haknya, termasuk hak untuk memperoleh keadilan ketika berhadapan dengan hokum.

Perempuan berhadapan dengan hokum mulai dari perempuan menjadi saksi, korban, tergugat, penggugat dan terdakwa pada kasus-kasus pidana maupun perdata.  Perempuan yang berhadapan dengan hukum juga kerap mendapatkan perlakuan yang tidak adil oleh aparat penegak hukum.

Perempuan dan korban Perdagangan Orang

Parinama Astha mensharekan pengalaman dalam penanganan kasus khususnya saat mendampingi korban perdagangan orang yang bekerja di tempat prostitusi, dimana adanya perlakuan yang tidak adil yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, mulai dari proses penyidikan sampai pada proses pemeriksaan di Pengadilan. Dimana aparat penegak hukum melihat korban dengan segala latar belakang pengalaman korban, penggunaan pakaian, cara dandan korban dan hal lainnya yang berkaitan dengan korban. Majelis Hakim sering menyalahkan korban dan mengkategorikan korban sebagai perempuan nakal karena korban mau bekerja di tempat prostitusi, alasan kenapa mau menerima tawaran dan lain-lain. Situasi-situasi tersebut tentunya akan semakin mempersulit perempuan berhadapan dengan hukum untuk mengakses hak-haknya, terutama hak-hak untuk memperoleh peradilan yang adil.

 

Saat ini Mahkamah Agung telah memiliki aturan bagaimana menangani masalah perempuan yang berhadapan dengan hukum melalui Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Aturan ini mengatur tentang apa saja yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan oleh hakim pada saat menangani perkara perempuan berhadapan dengan hukum. PERMA Nomor 3 Tahun 2017 juga memberikan sebuah terobosan baru sebagai salah satu upaya pemenuhan hak perempuan berhadapan dengan hukum, yaitu diperbolehkannya pendamping untuk mendampingi perempuan berhadapan dengan hukum secara langsung di pengadilan, dan salah satunya adalah perempuan yang korban perdagangan orang yang bekerja di tempat prostitusi, karena kebanyakan masih ada pandangan masyarakat kita yang menganggap bahwa perempuan yang bekerja di tempat prostitusi merupakan perempuan yang nakal atau tidak baik.

Recommended Posts