Korban Perdagangan Manusia: Kerja 11 Tahun, Terima 7 Juta Rupiah

Gelombang perdagangan manusia di Nusa Tenggara Timur, seolah belum bisa dibendung. Hingga Agustus ini, sudah 75 jenazah Tenaga Kerja Indonesia tiba di NTT. Tragedi yang dialami Yosep Malo menggambarkan kejamnya praktik kejahatan ini.

Tidak banyak yang bisa diingat Silvester Bulo Malo, tentang apa yang terjadi pada hari ketika adiknya, Yosep Malo memutuskan pergi ke Malaysia. Pada 2008, tetangga desa di Sumba Barat Daya menawarkan pekerjaan. Sebelum Yosep Malo pergi, ada 12 warga wilayah itu yang berangkat. Rombongan Yosep juga berjumlah 12 orang.

Namun, sejak kepergian itu, tak pernah ada kabar datang. Yosep Malo juga tidak sekalipun pulang ke kampung halaman selama 11 tahun. Tiba-tiba, pria kelahiran 1986 itu dikabarkan meninggal dunia pada 3 Agustus 2019 lalu, dan beritanya baru sampai ke keluarga dua hari kemudian. Keluarga pun sedih dan kecewa dengan semua yang terjadi.

“Kami ada merasa tidak puas, selama 11 tahun Yosep tidak pernah ada kabar, kok tiba-tiba ada berita meninggal. Kami pihak keluarga tidak bisa menerima ini. Apalagi selama jenazah masih di rumah, sebelum pemakaman, itu orang yang dulu mendaftar tidak datang melayat ke rumah,” kata Silvester.

Silvester bercerita, sebelum ini keluarga pernah menemui orang yang mengatur kepergian Yosep Malo secara ilegal ke Malaysia. Setelah tidak ada kabar dalam beberapa tahun pertama, mereka khawatir sesuatu yang buruk terjadi. Namun, calo yang masih tetangga desa itu mengatakan, Yosep Malo baik-baik saja.

Yosep Malo adalah jenazah ke-74 Pekerja Migran Indonesia (PMI) tahun ini. Hari Minggu, 18 Agustus kemarin, tiba pula di Bandara El Tari Kupang, jenazah PMI atas nama Nasrun, yang berasal dari Ende, NTT. Dengan demikian, hingga pekan ini sudah 75 PMI meninggal di luar negeri, khusus dari NTT. Mayoritas mereka adalah korban perdagangan orang. Data 2018 misalnya menunjukkan, dari 105 jenazah yang pulang ke NTT, hanya tiga yang berangkat secara legal ke luar negeri.

Bersama jenazah yang tiba pada 10 Agustus lalu, keluarga hanya diberi kabar bahwa Yosep sempat sakit di Malaysia. Badannya mengalami bengkak, tetapi tidak dijelaskan jenis penyakit yang diderita. Selain itu, keluarga akhirnya juga tahu bahwa calo yang membawa Yosep tidak mengantar sendiri para pekerja itu ke perkebunan yang mempekerjakan mereka. Menurut Silvester, berdasar cerita yang mereka terima, di tengah jalan rombongan pekerja itu dulu diserahkan ke pihak lain.

Yang lebih menyakitkan lagi, beberapa hari setelah meninggalnya Yosep Malo, keluarga menerima uang Rp7.035.000. Itulah uang yang ada dari hasil bekerja selama 11 tahun. Padahal Yosep tidak pernah menggunakan uang untuk pulang kampung, dan juga tidak pernah mengirim hasil kerjanya ke keluarga.

Salah satu kerabat Yosep, Andrianus Bulu Milla kepada VOA bercerita, tak ada uang lain yang diterima pihak keluarga sejauh ini.

“Kami sendiri kurang tahu, siapa yang membiayai pengiriman jenazah, kemungkinan perusahaan tempat dia bekerja. Kalau uang itu sendiri, sudah digunakan dalam proses pemakaman dan lain-lain, kemungkinan sudah habis karena budaya Sumba butuh uang dalam pemakaman,” kata Andrianus.

Keluarga tidak tahu, apakah uang Rp7.035.000 itu adalah tabungan hasil kerja Yosep ataukah memang itulah gajinya selama 11 tahun bekerja. Sampai saat ini, pekerja lain yang berasal dari desa-desa di sekitar mereka, juga belum memberi keterangan karena komunikasi yang terputus.

Andrianus mengatakan, bekerja di Malaysia memang menjadi salah satu pilihan bagi banyak warga desa untuk memperbaiki kehidupan. Sulitnya menemukan pekerjaan di kampung halaman mendorong mereka mengambil resiko itu.

Keluarga ingin menelusuri lebih jauh mengenai uang tersebut, karena menurut Andrianus semestinya mereka yang bekerja di Malaysia memiliki pendapatan lebih dari itu. namun karena masih dalam kondisi berduka, keluarga belum sempat menanyakan persoalan itu, terutama pada calo yang mengirim Yosep ke Malaysia.

“Pasti kita akan tanyakan, karena dia punya penghasilan kok tidak seperti yang lain yang bekerja di Malaysia,” kata Andrianus.

Dalam rilis yang diterima VOA, Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (JarNas Anti TPPO) mengungkap sejumlah data. Data Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang oleh Bareskrim Polri pada 2011 sampai 2018 terdapat 101 kasus. Dari jumlah itu, 1.321 korban TPPO adalah perempuan dewasa, 46 anak perempuan, dan 96 laki-laki dewasa.

Khusus untuk PMI dari NTT, pada 2016 tercatat 46 korban meninggal, terdiri 26 laki-laki dan 20 perempuan. Pada 2017, korban meninggal 62 orang, terdiri 43 laki-laki dan 19 perempuan. Tahun 2018 ada 105 PMI meninggal, dengan 71 laki-laki dan 34 perempuan. Tahun ini, hingga pertengahan Agustus, sudah 75 jenazah pulang ke NTT.

Kajian: Syarat Pendaftaran Buruh Migran Banyak Diakali

Andy Ardian, Sekretaris JarNas Anti TPPO mengatakan, situasi ini merupakan hasil dari pembiaran yang dilakukan negara. Tidak ada perlindungan cukup bagi warga negara yang bekerja di luar negeri sehingga dimanfaatkan sindikat perdagangan manusia.

“Kemiskinan menyebabkan masyarakat NTT rentan menjadi korban perdagangan orang,” kata Andy.

Sementara itu, Gabriel Goa, Ketua Bidang Advokasi JarNas Anti TPPO menilai, upaya perlindungan itu belum maksimal karena aparat penegak hukum belum menerapkan UU No.21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pada sisi yang lain, berdasar pantauan dan pengalaman pendampingan, masih ada oknum penegak hukum terlibat dalam kasus perdagangan orang.

“Diperlukan kehadiran lembaga negara untuk memberikan akses yang lebih mudah bagi korban perdagangan orang menerima perlindungan dan dipenuhi haknya sebagai korban. Lembaga-lembaga negara perlu bekerjasama dengan pegiat anti perdagangan manusia, lembaga regional dan internasional untuk menyelamatkan PMI yang menjadi korban perdagangan manusia ,” tambah Gabriel.

Servulus Bobo Riti, dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menjamin, dalam konteks pekerja migran, pemerintah Indonesia sangat serius menangani perdagangan orang. Servulus adalah Direktur Sosialisasi dan Kelembagaan Penempatan di BNP2TKI.

Dikatakannya, melalui UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, pemerintah melakukan dua hal pokok, yaitu distribusi tugas dan tanggung jawab penyiapan dan pelindungan pekerja migran oleh pemerintah daerah dan kehadiran negara dalam perlindungan hukum, ekonomi dan sosial, baik sebelum, selama dan sesudah penempatan pekerja migran. “UU 21 Tahun 2007 dan UU 18 Tahun 2017 saling melengkapi,” kata Servulus.

Pemerintah Akui Sulit Berantas Kasus Perdagangan Orang

Selain NTT, ada dua provinsi lain yang memiliki kasus hampir mirip, yaitu NTB dan Sulawesi Selatan. Di NTT, jalur non prosedural atau ilegal sudah dibangun sejak tahun 60-an. Tidak mengherankan, meskipun korban terus berjatuhan, jalur ini tetap menjadi pilihan sebagian calon PMI.

Apakah jalur ilegal ini tidak dapat ditutup oleh pemerintah? Servulus memastikan, seluruh pihak baik BNP2TKI, Kementerian Luar Negeri dan pemerintah daerah bekerja sama menekan potensi penggunaan jalur non prosedural. Syaratnya adalah perhatian yang lebih pada calon PMI terutama untuk pelatihan dan pembiayaan keberangkatan PMI.

Di sisi yang lain, dugaan keterlibatan aparat hukum dalam kasus-kasus TPPO juga terus ditekan. Jika masih ada, kata Servulus, tidak mencerminkan kebijakan pemerintah.

“Dari berbagai bacaan atau sumber, memang ada yang mengatakan adanya keterlibatan. Tetapi belakangan, kurang lebih 2-3 tahun terakhir, menurut kami sudah makin berkurang. Itu juga dampak positif dari dilakukannya sosialisasi yang sudah sampai menyentuh level akar rumput, di NTT hampir di seluruh wilayah baik oleh Pemda, maupun BNP2TKI bersama BP3TKI Kupanguntuk memasyarakatkan pilihan-pilihan jalur prosedural atau jalur migrasi aman,” kata Servulus.

Pengadilan Vonis Pelaku Perdagangan Orang di NTT

Jika masih ditemukan oknum yang terlibat dalam kasus TPPO, kata Servulus, hal itu tidak mencerminkan kebijakan negara atau pemerintah. Gubernur NTT sendiri dinilai cukup berani melarang dan menghentikan pemberangkatan jalur tidak resmi. Artinya, di dalam wilayah, upaya pencegahan cukup maksimal dilakukan. Tantangannya kini ada di wilayah lain yang menjadi titik transit seperti Batam, Nunukan maupun Pontianak.

“Saya yakin, pemerintah daerah, BNP2TKI dan Kementerian Tenaga Kerja maupun Kemenlu terus melakukan upaya untuk meminimalisir kejahatan ini,” tambah Servulus.

Sumber: https://www.voaindonesia.com/a/korban-perdagangan-manusia-kerja-11-tahun-terima-7-juta-rupiah/5047687.html

Pemerintah Diharapkan Beri Perhatian PMI Terancam Hukuman Mati

Indonesia baru saja merayakan ulang tahun Kemerdekaan RI yang ke-74, dan pada 16 Agustus 2019 kemarin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pidato Kenegaraannya dalam Sidang Bersama DPR dan DPD di Ruang Rapat Paripurna MPR mengangkat tema “SDM Unggul, Indonesia Maju”.

Anggota Komisi VIII DPR Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, menyayangkan Presiden tidak mengangkat isu kemanusiaan yang masih harus mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah.

Khususnya kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan perlindungan hukum bagi warga negara Indonesia yang berada di luar negeri. Media mainstream dalam negeri merilis bahwa terdapat 195 Pekerja Migran Indonesia (PMI) di beberapa negara yang terancam hukuman mati.”Pemerintah Indonesia harus hadir dalam memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya yang berada di luar negeri, khusus bagi pekerja migran yang mengalami kasus hukum, dan telah mendapatkan putusan hukuman mati. Di mana saat ini sedang menunggu proses eksekusi dari putusan tersebut,” kata perempuan yang akrab disapa Sara itu, Senin (19/8/2019).

Menurut Sara, sangat baik jika pemerintah melakukan pendampingan hukum dan lobi-lobi politik untuk melindungi warga negaranya yang terancam hukuman mati di luar negeri guna mewujudkan cita-cita dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa negara wajib melindungi segenap warga negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

“Indonesia juga perlu melakukan kerja sama bilateral dengan negara-negara tujuan PMI, hal ini sangat penting agar PMI merasa mendapatkan perlindungan dari negaranya,” ucap Sara.

Sara menambahkan, dia sangat mendukung rencana pemerintah Indonesia untuk menciptakan SDM yang unggul untuk Indonesia Maju, ini merupakan langkah baik dalam menyiapkan SDM yang cerdas dan mampu bersaing. Hal ini menjadi harapan dan PR yang besar bagi pemerintah Indonesia khususnya dalam menciptakan SDM yang unggul bagi PMI.

“Program ini harus didukung dengan mempersiapkan SDM para PMI yang unggul sehingga bisa menjadi pekerja yang profesional dan mampu berkompetisi di dunia global,” ujar politisi Partai Gerindra itu.Sara juga berharap, dengan adanya program untuk membuat SDM PMI yang unggul l,
maka tentu akan mengurangi korban PMI dan lebih memproteksi PMI di luar negeri.

“Baik PMI yang berhadapan dengan hukum maupun yang menjadi korban kekerasan dan bahkan sampai pada kehilangan nyawanya,” tandasnya.

Perlu diketahui bahwa 195 PMI yang terancam hukuman mati itu tersebar di sejumlah negara di antaranya, Malaysia (154), Arab Saudi (20), Cina (12), Uni Emirat Arab (4), Laos (2), Singapura (2) dan Bahrain (1).

Sumber: https://nasional.sindonews.com/read/1431416/15/pemerintah-diharapkan-beri-perhatian-pmi-terancam-hukuman-mati-1566213714

JARNAS Anti-TPPO: “Miris, 74 Jenazah TKI NTT adalah ‘Kado’ Duka HUT RI ke-74”

Menyongsong Perayaan Kemerdekaan ke-74 Tahun pada 17 Agustus 2019, Indonesia kembali mendapat ‘kado’ duka terkait nasib tenaga kerja atau Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Usia Kemerdekaan yang tinggal setahun memasuki usia Intan (75 tahun), belum menjamin Indonesia bebas dari masalah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Jaminan hak para Pekerja Migran sejak dalam proses pemberangkatan hingga berada di luar negeri selalu berakhir tragis. Selain dipulangkan dalam kondisi yang memprihatinkan, mayoritas dalam bentuk peti jenazah.

Berdasarkan data Kementrian luar negeri sebagaimana diberitakan media cetak Kompas, tercatat sebanyak 195 PMI yang terancam hukuman mati yang kini berada di beberapa negara di antaranya Malaysia (154 orang), Arab Saudi (20 orang), Cina (12 orang), Uni Emirat Arab (4 orang), Laos (2 orang), Singapura (2 orang) dan Bahrain (1 orang).

NTT: Nusa Tragedi Trafficking

Sementara data yang dihimpun oleh Jaringan Nasional (JARNAS) Anti TPPO PMI NTT dalam rilis kepada media ini, Rabu (14/8/19), mencatat bahwa setiap tahun jumlah korban PMI yang meninggal terus meningkat.

Pada tahun 2016, tercatat PMI NTT yang meninggal sebanyak 46 orang (laki-laki 26 orang dan perempuan 20 orang). Dari jumlah itu, hanya 4 orang yang melalui jalur resmi (legal)sementara 42 orang melalui jalur tidak resmi (ilegal).

Pada tahun 2017, jumlah korban yang meninggal meningkat menjadi 62 orang (43 orang laki-laki dan 19 orang perempuan). Hanya 1 orang yang dinyatakan legal sedangkan 61 orang ilegal. Pada tahun 2018, jumlah korban yang meninggal terus meningkat menjadi 105 orang (71 orang laki-laki dan 34 orang perempuan). Dari jumlah itu, hanya 3 orang yang legal dan 102 orang ilegal.

Sementara data per Agustus 2019, tercatat ada 74 jenazah PMI NTT.

Penerapan Hukum Progresif

Jaringan Nasional (JARNAS) Anti-TPPO sebagai salah satu jaringan yang dibentuk atas dasar kesamaan visi dan misi untuk terwujudnya Indonesia yang bebas dari TPPO dan human trafficking, mendorong penegakan dan penerapan hukum yang progresif demi tercapainya keadilan, pemenuhan hak, advokasi berjenjang, rehabilitasi dan reintegrasi bagi korban TPPO  secara nasional dan internasional.

Ketua JARNAS Anti-TPPO, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, mengatakan bahwa dalam kasus ancaman hukuman mati kepada 195 PMI, sangat baik jika Indonesia melakukan pendampingan hukum dan lobby politik untuk melindungi hak warga negaranya yang terancam hukuman mati di luar negeri.

“Indonesia masih sangat lalai dalam memberikan perlindungan kepada warga negaranya yang bekerja di luar negeri. Hal ini terlihat pada meningkatnya jumlah korban PMI yang berasal dari NTT. Bahkan, per Agustus 2019 ini, NTT sudah menerima 74 jenazah, namun kasus hukumnya tidak diproses. Ini sangat ironis,” ungkap wanita yang akrab disapa Sara ini.

Anggota DPR RI Komisi VIII ini menekankan bahwa pemerintah Indonesia harus memberi atensi serius dengan melakukan pengawalan khusus terhadap kasus-kasus hukum PMI.

“Hal ini sangat penting dan vital agar keluarga korban biaa mendapatkan hak-haknya,” nilai Sara.

Hal senada diungkapkan Andy Ardian dari ECPAT Indonesia yang juga Sekretaris JARNAS Anti TPPO. Menurutnya, situasi ini merupakan tuaian hasil dari pembiaran yang telah dilakukan oleh negara dalam melindungi hak warga negaranya yang terpaksa bekerja di negeri dan dimanfaatkan oleh sindikat perdagangan orang.

“Situasi kemiskinan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat NTT rentan untuk menjadi korban perdagangan orang. Selain itu, Indonesia juga perlu mewaspadai situasi rentan saat terjadinya bencana sehingga bisa dimanfaatkan oleh sindikat perdagangan orang dengan motif memberikan bantuan,” ujar Andy.

Negara Wajib Hadir

Ketua Bidang Advokasi JARNAS Anti TPPO, Gabriel Goa meminta kehadiran Negara melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memimpin langsung Rapat Koordinasi Nasional Gugus Tugas TPPO yang sedianya akan dilaksanakan di Kupang, NTT pada akhir Agustus 2019 mendatang.

“Negara wajib hadir secara nyata dan maksimal terutama dalam menangani dan memberikan perlindungan hukum bagi korban perdagangan orang,” desak Gebby.

Menurutnya, pihak Aparat Penegak Hukum (APH) belum banyak menggunakan dan menerapkan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Gebby mengaku, berdasarkan pengalaman pendampingan dan advokasi temukan bahwa masih ada oknum APH yang terlibat dalam kasus perdagangan orang tersebut. Ia juga meminta kehadiran dan kerjasama lembaga-lembaga negara.

“Kehadiran lembaga-lembaga Negara sangat diperlukan untuk memberikan akses perlindungan dan pemenuhan hak bagi masyarakat khususnya korban perdagangan orang. Lembaga-lembaga negara perlu bekerjasama dengan Pegiat anti perdagangan orang, lembaga regional dan internasional untuk menyelamatkan PMI yang menjadi korban perdagangan orang,” tandasnya.

JARNAS berharap agar dengan situasi ini, pemerintah lebih mengutamakan agenda perlindungan warga negaranya dari situasi perdagangan orang melalui Gugus Tugas TPPO.

Sumber: http://indonesiasatu.co/detail/jarnas-anti-tppo—miris–74-jenazah-tki-ntt-adalah–kado–duka-hut-ri-ke-74-

Komnas HAM soroti pemenuhan hak korban TPPO bersama Jarnas

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menyoroti permasalahan tentang pemenuhan hak korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) melalui audiensi bersama Jaringan Nasional (Jarnas) Anti TPPO.

Mengenai pemenuhan hak korban, Ketua Jarnas Anti TPPO Rahayu Saraswati menyebutkan bahwa restitusi atau pemulihan kondisi korban dan penggantian kerugian yang dialami korban baik secara fisik maupun mental, adalah salah satu isu yang memerlukan perhatian lebih.

Menurutnya, pelaku TPPO adalah pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas restitusi korban.

“Restitusi juga penting. Karena istilahnya udah mereka (korban) sudah melalui kasus, mereka juga yang harus bayar semua proses,” kata aktivis yang akrab disapa Sara usai konferensi pers di Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu.

“Sedangkan restitusi itu ya pelakunya yang harusnya bayar untuk semua healing korban. Jadi bukan hanya (bertanggung jawab) di proses hukumnya tetapi juga sampai untuk semua rehabilitasinya,” imbuhnya.

Sara juga menyebutkan bahwa berdasarkan data Kementerian Luar Negeri yang pihaknya himpun, terdapat sebanyak 195 pekerja migran Indonesia (PMI) yang terancam hukuman mati di luar negeri.

“Maka dari itu, sangat baik jika pemerintah Indonesia melakukan pengawalan pada kasus-kasus hukum PMI, supaya para korban mendapatkan hak-haknya,” ujar dia.

Di sisi lain, menurut Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik, isu tentang perdagangan orang atau ‘human trafficking’ merupakan salah satu persoalan yang penting dan harus terus dikawal dan dicegah.

Ia juga menyebutkan bahwa pihaknya terbuka dengan semua kalangan dan elemen masyarakat jika ingin melaporkan aduan terkait TPPO kepada Komnas HAM.

“Kami tentu saja terbuka dengan Jarnas, dengan semua elemen lain, kalau seandainya ingin menggunakan mekanisme-mekanisme yang dimiliki oleh Komnas HAM,” kata Ahmad Taufan pada kesempatan yang sama.

Sementara itu, audiensi dan konferensi pers terkait TPPO ini, selain dihadiri Komnas HAM dan Jarnas Anti TPPO, juga turut dihadiri oleh perwakilan dari Ombudsman RI, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Sumber: https://www.antaranews.com/berita/1010992/komnas-ham-soroti-pemenuhan-hak-korban-tppo-bersama-jarnas

Jaringan Nasional Anti TPPO Minta Pelaku Ganti Rugi Atas Biaya Pemulihan Korban

 Ketua Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang, Rahayu Saraswati, mengatakan pemulihan kondisi korban TPPO dan penggantian kerugian baik secara fisik maupun mental merupakan salah satu isu yang memerlukan perhatian lebih.

“Restitusi penting. Karena istilahnya udah mereka (korban) sudah melalui kasus, mereka juga yang harus bayar semua proses,” kata Rahayu di Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2019).

Rahayu menyebut pelaku TPPO merupakan pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas semua biaya pemulihan korban.

“Sedangkan restitusi itu ya pelakunya yang harusnya bayar untuk semua healing korban. Jadi bukan hanya (bertanggung jawab) di proses hukumnya tetapi juga sampai untuk semua rehabilitasinya,” ujar dia.

Di kesempatan yang sama, aktivis yang kerap disapa Sara ini juga menyebutkan data dari Kementerian Luar Negeri yang pihaknya himpun.

Data tersebut mengatakan sebanyak 195 pekerja migran Indonesia terancam hukuman mati di luar negeri. Maka dari itu, kata dia, sangat baik jika pemerintah Indonesia melakukan pengawalan pada kasus-kasus hukum PMI.

“Supaya para korban mendapatkan hak-haknya,” ujarnya.

Audiensi dan konferensi pers terkait TPPO ini diketahui turut dihadiri juga oleh perwakilan dari Ombudsman RI, Komisi Nasional Perempuan serta Komisi Perlindungan Anak.

Sumber: https://akurat.co/id-724365-read-jaringan-nasional-anti-tppo-minta-pelaku-ganti-rugi-atas-biaya-pemulihan-korban

74 Peti Jenazah jadi Kado Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 74

Jakarta, 14 Agustus 2019, Tujuh puluh empat tahun Indonesia merdeka, belum menjamin Indonesia bebas dari masalah perdagangan orang. Masalah Pekerja Migran Indonesia (PMI) selalu mengalami masalah baik yang berada di dalam proses pemberangkatan maupun yang telah berada di luar Negeri.

Berdasarkan data Kementrian luar negeri, yang diberitakan Media Cetak Kompas menunjukan adanya seratus sembilan puluh lima (195) Pekerja Migran Indonesia yang terancam hukuman mati yang berada di beberapa negara diantaranya adalah Malaysia berjumlah seratus lima puluh empat (154) orang, Arab Saudi berjumlah dua puluh (20) orang, Cina berjumlah dua belas (12) orang, Uni Emirat Arab berjumlah empat (4) orang, Laos berjumlah dua (2) orang, Singapura dua (2) orang dan Bahrain satu (1) orang.

Sementara data yang telah dihimpun oleh JarNas Anti TPPO PMI NTT, dimana PMI yang meninggal mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data PMI NTT yang meninggal pada Tahun 2016 sebanyak empat puluh enam (46) orang, laki-laki 26 orang dan perempuan 20 orang, dan 4 orang yang prosedural dan 42 orang yang non prosedural.

Data 2017 DPMI yang meninggal sebanyak 62 orang, 43 orang laki-laki dan 19 orang perempuan, 1 prosedural dan 61 non prosedural. Tahun 2018 mengalami peningkatan menjadi 105 PMI yang meninggal 71 orang laki-laki dan 34 orang perempuan, 3 prosedural dan 102 non prosedural dan data per Agustus 2019 menunjukan ada 74 jenazah.

Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (JARNAS) yang merupakan salah satu jaringan yang dibentuk atas dasar kesamaan visi dan misi untuk terwujudnya Indonesia yang bebas dari tindak pidana perdagangan orang, mendorong penegakan dan penerapan hukum yang progresif demi tercapainya keadilan bagi korban TPPO dan melakukan advokasi pemenuhan hak-hak korban dan sistem rehabilitasi pelaku TPPO secara nasional dan internasional.

JarNas Anti TPPO yang diketuai oleh Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, mengatakan bahwa dalam kasus seratus sembilan puluh lima (195) PMI yang terancam hukuman mati, sangat baik Indonesia melakukan pendampingan hukum dan lobby politik untuk melindungi warga negaranya yang terancam hukuman mati di luar negeri. Selain itu perempuan yang biasa dipanggil dengan Sara ini juga mengatakan, Indonesia masih sangat lalai dalam memberikan perlindungan warga negaranya yang bekerja di luar negeri. Hal ini terlihat pada meningkatnya kasus pemulangan jenazah PMI yang berasal dari NTT, dimana setiap tahun mengalami peningkatan, dan pada Agustus 2019 ini, NTT telah menerima tujuh puluh empat (74) jenazah yang telah dipulangkan, dan kasus hukumnya tidak diproses.

Sara yang juga anggota Komisi 8 DPR RI ini mengatakan bahwa sangat baik jika pemerintah Indonesia melakukan pengawalan pada kasus-kasus hukum PMI. Hal ini sangat penting agar keluarga korban bisa mendapatkan hak-haknya.

Andy Ardian dari ECPAT Indonesia yang juga Sekretaris JarNas Anti TPPO mengatakan bahwa situasi ini merupakan tuaian hasil dari pembiaran yang telah dilakukan oleh negara dalam melindungi warga negaranya yang terpaksa bekerja keluar negeri dan dimanfaatkan oleh sindikat perdagangan orang. Andy pun mengatakan situasi kemiskinan yang menyebabkan masyarakat NTT rentan untuk menjadi korban perdagangan orang, selain itu Indonesia juga perlu mewaspadai situasi kerentan saat terjadinya bencana, sebagai negara yang sangat rawan terjadi bencana situasi ini dimanfaatkan oleh sindikat perdagangan orang dengan motif memberikan bantuan.

Selain itu Gabriel Goa (Direktur Padma) yang juga Ketua Bidang Advokasi JarNas Anti TPPO mengatakan, bahwa dalam menangani dan memberikan perlindungan hukum bagi korban perdagangan orang masih belum maksimal karena aparat penegak hukum belum banyak menggunakan dan menerapkan UU No.21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, selain itu berdasarkan pantauan dan pengalaman pendampingan menunjukan bahwa masih ada oknum APH yang terlibat dalam kasus perdagangan orang.

Selain itu sangat diperlukan kehadiran Lembaga Negara untuk memberikan akses yang lebih mudah bagi masyarakat khususnya bagi korban Perdagangan Orang dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban. Laki-laki yang biasa dipanggil dengan Gabby ini mengatakan lembaga-lembaga negara perlu bekerjasama dengan Pegiat anti perdagangan orang, lembaga regional dan internasional untuk menyelamatkan PMI yang menjadi korban perdagangan orang.

JARNAS berharap dengan situasi ini, pemerintah lebih mengutamakan agenda perlindungan warga negaranya dari situasi perdagangan orang, dan mendorong Presiden untuk memimpin langsung Rapat koordinasi Nasional Gugus Tugas TPPO yang akan dilaksanakan di Kupang NTT yang direncanakan akan dilaksanak pada akhir Agustus 2019.

Narahubung:
Gabriel Goa: 0813.6028.5235, Andi Ardian 0813.6156.3988

Anggota JarNas: Parinama Astha, ECPAT Indonesia, PADMA Indonesia, LBH Apik Jakarta, Yayasan Bandungwangi, YKAI, Yayasan Anak Perempuan, CWTC, Yayasan Bahtera Bandung, Yayasan Embun Pelangi Batam, PKPA Medan, LADA Lampung, Asa Puan Sambas, Asosiasi Peksos Singkawang, Lembaga Kita Wonosobo, Setara Semarang, Kakak Solo, SCC Surabaya, YKYU Manado, LBH Apik Bali, Gerasa Bali, Lentera Anak Bali, Project Karma Bali, Yayasan Santai Lombok, WADAH NTT, Yayasan Donders dan anggota Individu.

Dorong Peran Aktif Masyarakat, BNP2TKI Gelar Sosialisasi PMI di Tambolaka

Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dalam kerja sama dengan PADMA Indonesia dan Suara Jarmas Sumba, Jumat (19/7/19) menggelar sosialisasi program penempatan dan perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) bertempat di aula Hotel Sumba Sejahtera, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD).

Sesuai rilis yang diterima media ini, Senin (22/7/19), kegiatan yang mengusung Tema ‘Peran Serta Masyarakat dalam Penempatan dan Perlindungan PMI’ ini dibuka oleh Assisten III bagian Administrasi kabupaten SBD, Bernardus Bulu.

Adpun peserta yang hadir dalam kegiatan edukasi tersebut yakni dari berbagai elemen di antaranya pelajar SMA/SMK se-SBD, Mahasiswa, LSM, PPTKIS/P3MI, Pemerintah Daerah, Tokoh-tokoh Masyarakat dan Agama, TNI/Polri dan insan Pers.

Sementara ketiga narasumber yang membawakan materi pada kegiatan tersebut yakni Kasubdit Sosialisasi BNP2TKI, Pujiono; Kadis Nakertrans SBD, Yustinus Bili Kandi; Direktur Advokasi Parinama Astha (ParTha), Gabriel Goa.

Dalam sambutannya mewakili Bupati SBD, Bernard Bulu mengapresiasi kegiatan sosialisasi ini karena masalah PMI merupakan masalah yang menjadi pembicaraan di Indonesia, baik di media sosial maupun media cetak.

Menurutnya, khusus di kabupaten SBD, angkatan kerja terus meningkat dari tahun ke tahun. Data tahun 2016 hampir mencapai 20.000 pengangguran terbuka. Yang paling besar adalah lulusan SD, lalu lulusan SLTA baru serta lulusan Perguruan Tinggi. Hal ini karena tidak didukung dengan penyiapan lapangan pekerjaan.

“Ini merupakan beban pemerintah kabupaten. Sementara lapangan kerja yang tersedia hanya tiga yaitu rekrutmen CPNS, tenaga kontrak dari APBD dan swasta yang masih sangat terbatas di SBD ini,” ungkap Bernard.

Bernard berharap adanya investor-investor yang masuk ke SBD, sehingga bisa membuka lapangan pekerjaan bagi angkatan kerja yang ada. Sedangkan tenaga kerja yang terpaksa keluar SBD untuk mencari peruntungannya disebabkan oleh hutang adat yang membelenggu, tetapi tidak didukung dengan kemampuan dan keterampilan yang cukup sehingga menjadi masalah di tempat kerjanya.

Selain itu,kata Bernard, adanya perusahaan-perusahaan perekrut tenaga kerja ilegal yang mengumbar janji-janji manis, sehingga terjadi banyak penipuan dalam pengiriman tenaga kerja dari SBD.

Bernard juga berharap agar secara bersama-sama, mitra jaringan dapat mengeliminir masalah perdagangan manusia (human trafficking).

“Pemerintah bersama LSM dan mitra jaringan lintas elemen agar bergandengan tangan untuk mencegah terjadinya pengiriman tenaga kerja ilegal. Mari bersama-sama kita arahkan masyarakat jika ingin mencari kerja di luar negeri, untuk mengikuti sesuai prosedural resmi, agar mereka mendapat perlindungan dari negara. Hal yang perlu diperhatikan adalah kualitas tenaga kerja, kita dukung terus pengiriman tenaga kerja kita ini, asalkan sesuai prosedur yang sudah diatur oleh negara,” harapnya.

Realisasi Moratorium Pemprov NTT

Sementara Direktur BNP2TKI, Servulus Bobo Riti mengatakan persoalan migran harus dilihat secara komprehensif bukan parsial semata.

Menurutnya, Pemerintah hadir untuk menjamin masyarakatnya dengan mengeluarkan UU No. 18 Tahun 2017. Di dalam UU tersebut, sudah diatur secara tegas perihal perekrutan tenaga kerja yang legal serta hukuman bagi yang menyalahi aturan.

“Kebijakan Pemprov NTT dengan mengeluarkan moratorium merupakan salah satu upaya untuk menjaga dan melindungi tenaga kerja NTT. Kami berharap hal itu bisa diadopsi oleh pemerintah kabupaten sebagai komitmen bersama,” ungkap Servulus.

Menurut data yang dirilis BPS tahun 2017, PMI di luar negeri mencapai 3,5 juta orang dengan mayoritas sebagai pekerja domestik, pekerja perkebunan, dan pekerja kontruksi. Total remitansi atau uang yang dikirim ke Indonesia yang dihasilkan dari jas PMI pada 2017 sebesar US$ 8,79 miliar. Jika dihitung rata-rata remitansi yang dihasilkan PMI, sebesar US$ 2.513 per individu.

Revitalisasi BLK dan LTSA

Perihal Balai Latihan Kerja (BLK) yang sering menjadi perbincangan di SBD, Servulus mengatakan bahwa BLK merupakan instrument yang menunjukan kehadiran negara melalui pemerintah guna melindungi dan menjamin kualitas kerja PMI. Apabila dirasa belum optimal maka perlu ditelusuri lebih jauh.

“Bisa jadi belum optimalnya BLK karena keterbatasan peralatan pelatihan. Misalnya mesin las. Kita juga harus sadari bahwa persoalan di pemda banyak, dan bukan hanya semata masalah migran. Bagi saya pemerintah sudah mempunyai itikad baik, tetapi terkendala,” nilainya.

Dalam presentase materi, Direktur Advokasi Partha, Gabriel Goa menegaskan pentingnya peran multi pihak guna mengatasi masalah human traffiking yang masif terjadi di NTT.

“Peran keluarga, tokoh masyarakat, perangkat desa, gereja, pemuda serta LSM sangat dibutuhkan untuk meredam adanya PMI ilegal,” ungkap Gabriel.

Khusus untuk CSO, kata Gabriel, agar melakukan pemberdayaan dan pelatihan bagi migran sebelum keberangkatan, pelatihan vokasi bersama pemerintah dan bekerja sama dengan pemdes untuk membuat Perdes tentang perlindungan PMI.

“Peran CSO harus dioptimalkan dalam pendampingan psikologis bagi migran yang terkena permasalahan, bekerja sama dengan Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC), Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), Rumah Perlindungan Sosial Wanita (RPSW) atau Rumah Aman lainnya, memberikan pendampingan psikologi terhadap para korban TPPO,” imbuhnya.

Dewan penasehat Kelompok kerja Menentang Perdagangan Manusia (Pokja MPM) ini juga mendorong pemerintah untuk menghidupkan kembali BLK sebagai media pembelajaran dan persiapan tenaga kerja yang profesional.

“Pemkab SBD dapat bekerja sama dengan BNP2TKI Provinsi untuk mencari job order di masing-masing wilayah tujuan tempat PMI akan bekerja. Ini penting supaya tidak sia-sia skill dan ketrampilan yang sudah diajarkan,” katanya.

Hal senada juga diungkapkan oleh ketua panitia penyelenggara, Octavianus Dapa Talu agar adanya output yang dicapai melalui kegiatan sosialisasi ini. Sehingga Pelayanan Terpadu Satu Pintu (LTSP) dan BLK profesional di Tambolaka bisa diwujudnyatakan dalam melayani PMI asal Sumba sekaligus mencegah PMI Ilegal yang rentan menjadi korban human trafficking.

“BLK profesional juga bisa bekerja sama dengan Sekolah Hotel Sumba dan SMK-SMK yang ada di Tambolaka, SBD untuk persiapan PMI di bidang pariwisata dan bidang-bidang profesional lainnya,” tandas Octha.

— Guche Montero

Sumber: http://indonesiasatu.co/detail/dorong-peran-aktif-masyarakat–bnp2tki-gelar-sosialisasi-pmi-di-tambolaka

Modus Kawin Kontrak dan Bahaya Sindikat Perdagangan Orang di Indonesia

Press Release, Jakarta, 26 Juni 2019.

Pada tanggal 23 Juni 2019, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Polresta

Bandara telah melakukan penangkapan terhadap seorang laki-laki yang ber inisial

Mario (M) di Terminal satu, Bandara Soekarno Hatta, pada pukul 17.45 WIB, M

merupakan bagian dari sindikat Perdagangan Orang dengan modus perkawinan

kontrak.

SBMI langsung melakukan koordinasi dengan Kepolisian Polresta Bandara, dan

melakukan penahanan sementara kepada M, dan kedua korban diamankan dan

dimintai keterangannya di Unit1 Polresta Bandara. Bahwa setelah kami

mendapatkan informasi korban, maka dapat dikatakan makin terbuka bahwa

jaringan yang selama ini bergerak mencari mangsa di Kalimantan Barat memiliki

jejaring kuat di Jakarta.

Kasus ini bermula dari adanya informasi dari orang melalui SBMI Pontianak yang

mengatakan bahwa ada dua korban TPPO dengan Modus Perkawinan Kontrak yang

akan berangkat ke Cina, sedang dalam perjalanan ke Jakarta, dan yang membawa

kedua korban adalah seorang laki-laki yang bernama M, M warga Pontianak yang

ditugaskan untuk mengurus visa dua perempuan yang dibawanya dari Pontianak

dengan menggunakan Lion Air JT 715 yang mendarat pada 17.19 WIB.

Pada saat dimintai keterangan, awalnya Mario yang membawa dua perempuan

muda itu mengaku tidak kenal, hanya kebetulam satu pesawat. Ia juga mengaku

ingin menemui pacarnya di Jakarta. Begitu juga Pada saat polisi menanya apa

tujuan kedua perempuan berinisial Dd dan Yy itu datang ke Jakarta, keduanya

menjawab juga akan bertemu dengan pacarnya orang China.

Polisi bertanya lagi, apakah ada paspor? Keduanya mengatakan tidak ada. Akhirnya

polisi meminta agar Mario mengeluarkan isi tasnya. Polisi menemukan 4 buah

paspor atas nama keduanya.

Kepolisian melalui Polresta Bandara langsung menetapkan pelaku telah melakukan

tindakan pidana perdagangan orang dan dikenai Undang-undang Nomor 21 Tahun

2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

SBMI melihat ada beberapa orang berupaya untuk membebaskannya pelaku melalui

upaya suap, dan dengan ini juga SBMI mengatakan bahwa dalam penanganan

kasus TPPO, sangat diperlukan kerja-kerja luar biasa berat dalam menangani

pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dengan modus pengantin

pesanan, antara lain :

  • Jaringan sindikat ini sudah sampai ketingkat desa.
  • Jaringan Mak comblang mendapatkan imbalan hingga 5 juta untuk mendapatkan satu orang yang mau menjadi pengantin pesanan.
  • Jaringan sindikat ini juga, memiliki orang-orang khusus untuk membuat event prewedding, pertunangan, joki pengantin, wali nikah palsu, termasuk orang-orang
  • Jaringan Masyarakat Peduli Human Trafficking yang mengurus administrasi kependudukan dan dokumen perjalanan ke luar negeri.
  • Jaringan kota Pontianak dengan Jakarta juga terkoordinasi dengan baik,termasuk pelobi saat ada yang tertangkap oleh polisi. Jaringan ini berani bayar mahal untuk menyelamatkan temanya.
  • Jaringan ini diduga berkomplotan dengan polisi yang lemah iman dan pengetahuan tentang tindak pidana perdagangan orang.

SBMI menambahkan bahwa Kepolisian hampir saja melakukan penolakan terkait

dengan laporan tersebut, padahal terlapornya sudah tertangkap, ada alat bukti

paspor, surat keterangan dari dukcapil untuk perkawinan dan pernyataan dua orang

yang akan diberangkatkan ke Tiongkok. SBMI tidak mengetahui alasan penolakan

tersebut. Dalam konteks perdagangan orang, upaya perencanaan dan percobaan

sudah merupakan tindak pidana perdagangan orang, seperti tertulis pada pasal 10

dan 11. SBMI melihat kasus TPPO merupakan kejahatan transnasional yang bersifat

ekstra ordinary crime, maka setiap orang yang akan menghalangi juga dapat

dipidanakan.

Parinama Astha yang juga ikut mendampingi korban di Bandara melihat adanya

kejanggalan dalam proses penegakan hukumnya, karena ada orang yang datang ke

Polres mengaku sebagai keluarga dari Pelaku, berharap bahwa Kepolisian dapat

bekerja dengan baik dalam proses hukum, hal ini sangat penting untuk perlindungan

kepada korban dan juga memberikan informasi kepada masyarakat bahwa

Kepolisian sebagai garda terdepan dalam proses penegakan hukum pada kasus

TPPO.

Ketua Bidang Hukum, Parinama Astha yang diwakilkan oleh Ermelina Singereta

(Lawyer publik), mengatakan bahwa Persoalan Tindak Pidana Perdagangan Orang,

banyak mengalami hambatan khusus dalam proses penegakan hukumnya, ini

dikarenakan APH kita masih menganggap kasus Perdagangan orang merupakan

kasus yang biasa, Indonesia telah memiliki Undang-undang khusus untuk persoalan

TPPO. Masih saja APH menggunakan Undang-undang yang tidak tepat, misalnya

masalah TPPO tidak menggunakan UU No.21 Tahun 2007 tentang TPPO, namun

menggunakan UU yang lain.

Selain itu Parinama Astha berharap agar para pelaku yang terlibat dalam kasus

TPPO ini diproses dan dihukum dengan hukuman yang maksimal sesuai dengan

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang

(TPPO) Juncto UU yang terkait lainnya dan memastikan bahwa negara hadir untuk

memberikan pemenuhan hak-hak bagi korban, yaitu hak untuk mendapatkan

Perlindungan hukum, hak rehabilitasi, hak restitusi dan hak terkait lainnya sesuai

dengan kebutuhan para korban.

Sementara Jaringan Nasional Tindak Pidana Perdagangan Orang (JARNAS ANTI

TPPO) yang diwakilkan oleh Gabriel Goa mengatakan bahwa sangat diperlukannya

kerjasama jaringan nasional dan internasional untuk mencegah dan memberantas

Jaringan Human Trafficking khusus dengan modus pengantin pesanan ke luar

negeri khususnya Negeri Tirai Bambu. Selain itu JARNAS Anti TPPO melalui Andi

Ardian (Anggota JARNAS Anti TPPO) mengatakan bahwa dalam kasus TPPO

Jaringan Masyarakat Peduli Human Trafficking

sangat diperlukan proses pemulihan bagi korban menjadi prioritas dengan

melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintah, masyarakat dan keluarga dan

harus dipastikan proses re-integrasi bagi korban terlaksana dengan baik dengan

mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi korban.

Maka berdasarkan fakta-fakta diatas, maka kami yang tergabung dalam Jaringan

Masyarakat Peduli Human Trafficking mengatakan beberapa hal yang mendasar:

  • Menguatkan kembali organisasi Gugus Tugas Pencegahan dan Penindakan Tindak Pidana perdagangan orang, dengan merevisi prinsip eks officio sebagai mana diatur dalam Perpres.
  • Memperkuat pengawasan di imigrasi bagi WNI yang akan berangkat ke luar negeri khusus pada kasus diatas maka sangat diperlukan pengawasankhusus imigrasi yang akan berangkat ke Tiongkok.
  • Peningkatan kapasitas penyidik aparat penegak hukum terkait pengetahuan dan prespektif tentang Tindak Pidana perdagangan orang.
  • Sosialisasi yang massif oleh Pemerintah provinsi dan daerah, dengan melibatkan peran serta masyarakat.
  • perlunya peran serta CSO dalam pengawasan seperti yang dilakukan saat ini menjadi salah satu cara melawan perdagangan manusia.

 

Narahubung:

Bobby (0852.8300.6797)

Erna (0812.1339.904)

Mahadir (0822.5371.6456)

 

Pertemuan Rapat koordinasi Gugus Tugas Pusat Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GT PP TPPO)

Pertemuan ini dilaksanakan oleh Kementrian KPPA, dihadiri oleh Kementrian, lembaga-lembaga (Komnas Perempuan dan KPAI) dan beberapa LSM diantaranya adalah, SBMI (Serikat Buruh Migran Indonesia), Migrant Care, ECPAT Indonesia, JARNAS (Jaringan Nasional) Anti TPPO Anak, CWTC-IBSI (Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia, SSPS, Asosiasi Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia, Aliansi Advokat Peduli Human Trafficking, Parinama Astha, Vivat Indonesia dan beberapa lembaga yang lainnya.

 

Pertemuan ini dilaksanakan untuk membahas tentang Kelembagaan Gugus Tugas PP-TPPO, yang selama ini telah ada, dan melakukan diskusi apakah Gugus Tugas PT-TPPO selama ini telah berjalan dengan efektif atau belum.

 

Ada beberapa persoalan yang mendasar dari pelaksanaan Gugus Tugas TPPO tersebut diantaranya adalah:

  1. Perlunya koordinasi lintas lembaga dan kementrian yang lebih baik lagi
  2. Masih banyakya masalahnya human trafficking yang dimulai dari pencegahan, penanganan hukum dan re-integrasi
  3. Adanya keterlibatan dari orang-orang yang memiliki pengaruh atau kuasa di daerah tertentu.
  4. Adanya penyalahgunaan dokumen perjalanan, misalnya penyalahgunaan visa.

 

Faktor orang-orang bekerja ke luar negeri, karena kemiskinan baik itu yang dari desa maupun juga yang dari kawasan perkotaan khususnya daerah-daerah kumuh yang ada di kota besar. Dan terkadang ada beberapa kota besar yang menjadi daerah tujuan perdagangan manusia. Selain kemiskinan faktor pendidikan juga mempengaruhi terjadinya perdagangan orang.

 

Tindakan yang perlu dilakukan ke depannya adalah, bagaimana agar perlunya kerjasama dengan kementrian terkait, karena kebanyakan kasus perdagangan orang itu dari Desa. Dalam rangka  pencegahan terjadinya tindak pidana perdagangan orang, maka sangat diperlukan adanya kegiatan berupa sosialisasi di tingkat desa. Desa juga memiliki otonom terkait dengan desanya. Maka hal yang perlu dilakukan adalah mendorong desa untuk membuatkan peraturan di tingkat desa.

 

Masukan yang lainnya juga adalah mengenai keberadaa gugus tugas TPPO, yang dinilai sangat penting, maka hal yang perlu dilakukan adalah bagaimana menempatkan orang-orang yang profesional dalam gugus tugas tersebut. masalah yang lainnya adalah belum maksimalnya peran dan tugas gugus tugas TPPO, yang selama ini berfungsi hanya di tingkat nasional saja, sementara di kabupaten/kota belum terlihat peran gugu tugas TPPO.

 

Masalah yang lainnya adalah mengenai perlunya peran keluarga dalam pemulangan korban TPPO untuk kembali ke keluarga dan masyarakat, dan juga perlu melakukan pemantauan terkait dengan situasi dan kondisi korban saat kembali keluarga.

Pertemuan Perlindungan Bagi Pengungsi dari Kekerasan dan Diskriminasi

Pertemuan ini dilaksanakan Oleh IOM bagian Pengungsian dan Forum Pengada Layanan
(FPL), pertemuan ini dihadiri oleh berbagai lembaga diantaranya adalah Yayasan
Parinama Astha, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, LBH Keadilan, LBH Masyarakat,
Yayasan Pulih dan beberapa lembaga yang lainnya.

Pertemuan membahas untuk mengetahui siapa Migran dan pengungsi, dalam
penjelasan dari IOM mengatakan bahwa Migran berbeda dengan pengungsi karena
Migran merupakan orang-orang yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lai,
atau berpindah dari tempat asalnya ke tempat yang lain dan bahkan melewati batas
internasional baik itu dilakukan secara paksa atau sukarela, dalam kurun waktu
sebentar ataupun lama. Sementara pengungsi adalah orang-orang yang terpaksa pindah
dari negara asalnya karena mengalami penyiksaan karena perang atau karena
terjadinya bencana. Pengungsi memiliki ketakutan yang mendasar karena hidupnya
terancam karena alasan RAS, Agama, masalah kebangsaan tertentu, opini politik
tertentu atau menjadi anggota dari kelompok sosial tertentu.

Hukum International Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak.
Dalam memberikan perlindungan kepada Perempuan dan Anak, Badan PBB telah
mengeluarkan satu aturan tersendiri yang termuat dalam The Convention on the
Elimination off All Forms of Discrimination againts Women (CEDAW) adalah sebuah
Kesepakatan Internasional Untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan. Konvensi ini mengdefinisikan tentang hak-hak perempuan, mulai dari
standar norma-norma dan standar kewajiban, serta tanggung jawab negara dalam
penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Indonesia adalah salah satu negara
yang telah ikut menandatangani Konvensi ini dan telah diratifikasi melalui Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984. Hukum Internasional mengenai

Pengungsi Refugges convention 1951, pengungsi adalah orang –orang yang memiliki
rasa takut yang beralasan akan adanya penganiayaan karena RAS, Agama, Kebangsaan.
Keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pandangan politik yang berada di luar
negara asalnya dan tidak dapat atau karena rasa takutnya, tidak menerima
perlindungan dari negaranya.

Ada beberapa alasan orang memilih untuk mengungsi, hal ini terjadi karena adanya
perang, terancam hidupnya, kekerasan, kelaparan dan bencana dalam. Dalam konteks
masalah mengenai hal diatas, kita perlu memahami siapakah yang menjadi migran dan
pengungsi, migran adalah siapapun yang berpindah dari tempat asalnya ke daerah lain
di dalam negeri atau melewati batas internasional (luar negeri). Baik secara paksa atau
sukarela (waktu singkat ataupun lama), sementara pengungsi mereka yang terpaksa
pindah negara asalnya karena ancaman keselamatan hidupnya dan ada menjadi korban
penyiksaan. Karena perang ataupun karena bencana alam, pengungsi memiliki
ketakutan yang mendasar karena hidupnya terancam karena alasan Ras, agama,
kebangsaan tertentu, opini politik atau menjadi anggota dari kelompok sosial tertentu.

Ada beberapa layanan khusus bagi pengugsi dengan kerentanan khusus, pertama yang
perlu dilakukan adalah melakukan identifikasi, melakukan assesment dan dokumentasi,
hal yang perlu dilakukan adalah bagaimana melakukan koordinasi dengan otoritas
terkait (Imigrasi, Polisi, Pemda dan Lembaga terkait lainnya) dan agensi internasional
terkait UNHCR dalam merujuk dan merespon pemberian pelayanan khusus bagi
kelompok migran yang rentan. Data IOM menunjukan migran dengan kerentanan
khusus berdasarkan data pada Desember 2018 menunjukan 407 migran yang mana 77
% sudah didokumentasi profilenya dan 21 kasus SGBV dan 6 kasus KTA.

Setiap orang memiliki alasan tersendiri sehingga pada akhirnya mengungsi, namun
kebanyakan karena adanya perang, mengalami kekerasan, hidupnya terancam,
mengalami kelaparan dan mengalami bencana alam ataupun bencana sosial karena
konflik.

Dunia internasional telah memiliki aturan-aturan hukum yang mengatur tentang
pengungsi yang termuat dalam Hukum Internasional mengenai pengungsi (Reffugee

Convention 1951) dan Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini. Dalam Konvensi
Internasional tersebut menjelaskan bahwa Pengungsi adalah orang-orang yang
memiliki rasa takut yang beralasan akan adanya penganiayaan karena Ras, agama,
kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pandangan politik yang
berada di luar negara asalnya, dan tidak dapat atau karena rasa takutnya tidak
menerima perlindungan dari negaranya.

IOM juga memberikan informasi mengenai data migran di Indonesia, jumlah pengungsi
dan pencari suaka yang ada di Indonesia sebanyak 14.032 jiwa 1 , dan yang ditempatkan
di IOM sebanyak 8.481 orang 2 . Data peredaran migran dan pengungsi berdasarkan
tempat adalah sebagai berikut:
Bekasi (4), Balik Papan (7), Semarang (104), Kupang (275), Surabaya (385), Tanjung
Pinang (502), Batam (503), Pekanbaru (1140), Tangerang (1165), Makasar (1832),
Medan (2123),

Kondisi migran, migran itu tidak boleh bekerja (kegiatan yang menghasilkan uang),
menunggu dan menjalani proses verifikasi untuk tujuan resettlement yang tanpa
kepastian, meninggalkan keluarga dan saudara di negaranya, kehilangan banyak uang
untuk bisa mencapai Indonesia, tergantung sepenuhnya dukungan dari IOM, UNCHR
dan pemerintah Indonesia. Pengungsi hidup di Detensi imigrasi dan tempat
penampungan (rumah atau kompleks yang disewa untuk rumah tinggal pengungsi,
kebanyakan menamping keluarga dan anak-anak, sandang pangan tercukupi oleh IOM
dan aktivitas bebas)

Ada beberapa persoalan pengungsi yang seharusnya mendapatkan prioritas dan yang
mengalami kerentanan, diantaranya adalah: Children risk, age out UMC, seksual gender
bassed violence person, disability, medical concern, Elderly.

Hambatan yang sering dihdapi pengungsi diantaranya adalah memperoleh hak
perlindungan, tidak adanya identitas formal yang diakui pemerintah untuk mengakses
bantuan polisi, hukum dan layanan publik. Belum terimplementasikannya sistem

peradilan terpadu, adanya potensi diskriminasi terhadap kelompok minoritas
berdasarkan agama, orientasi seksual, dan orang-orang dengan kondisi khusus, masih
minimmnya pemahaman yang terbatas mengenai konteks migran, sehingga
menghambat dalam mengakses bantuan hukum, dan layanan publik, belum adanya
kejelasan sistem pelaporan untuk kasus migran dan perlindungan anak yang diabaikan
atau mendapatkan kekerasan.