PENTINGNYA KERJASAMA ANTARA LEMBAGA UNTUK PEMENUHAN HAK KORBAN HUMAN TRAFFICKING

Jakarta, Agustus 2019, Masalah perdagangan orang, tidak terlepas adanya proses, cara dan tujuan dari tindakan yang telah dilakukan oleh para sindikat perdagangan orang, kebanyakan pelaku perdagangan orang merupakan orang terdekat, antara lain ada keluarga, teman dan juga orang lain yang dikenal oleh korban ataupun keluarga korban.

 

Banyak pekerja baik itu pekerja domestik maupun yang bekerja ke luar negeri yang mengalami masalah, mulai dari proses keberangkatan, penempatan sampai pada proses pemulangan  ke Indonesia, dan kebanyakan yang mengalami masalah secara hukum adalah pekerja yang keberangkatannya secara non prosedural.

 

Dalam penanganan kasus perdagangan orang sangat membutuhkan adanya kerjasama lintas sektor, dan selama ini kerjasama lintas sektor masih banyak mengalami kendala, khususnya berkaitan dengan pemulangan dan re-integrasi korban perdagangan orang ke keluarga dan masyarakat.

 

Berdasarkan situasi dan kondisi di atas, maka pada tanggal 29 Juli 2019 di Jakarta, Yayasan Parinama Astha menandatangani perjanjian kerjasama dengan Yayasan Embun Pelangi yang berkantor di Batam, Kepulauan Riau. MOU ini penting untuk merealisasikan pemenuhan hak-hak korban perdagangan orang khususnya proses pemulangan dan re-integrasi korban.

 

Ketua Yayasan Parinama Astha Rahayu Sasraswati Djojohadikusumo, mengatakan bahwa kerjasama ini dilakukan mengingat Kota Batam sebagai salah satu tempat transit dan juga sebagai tempat tujuan dari banyaknya pekerja, baik itu yang bekerja ke luar negeri maupun untuk bekerja di Batam saja. Banyak kasus Pekerja baik itu pekerja domestik maupun ke luar negeri yang keberangkatannya secara non prosedural. Sara menambahkan, bahwa kebanyakan keberangkatan yang secara non prosedural pasti dapat dikatakan adanya tindakan trafficking.

 

Perempuan yang juga anggota Komisi 8 DPRR- RI ini mengatakan bahwa kerjasama ini dilakukan untuk bersama-sama dengan Yayasan Embun Pelangi guna memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban trafficking, khususnya berkaitan dengan pemulangan korban dari Batam ke daerah tempat tinggal korban, selain itu akan ada proses re-integrasi bagi korban, dan ini harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan korban, hal ini sangat penting agar proses re-integrasi tepat sasaran.

 

Sementara Direktur Yayasan Embun Pelangi Irwan Setiawan mengatakan bahwa kerjasama ini merupakan langkah yang baik, khusus berkaitan dengan pemulangan korban trafficking dari Batam, selanjutnya akan ada kerjasama lainnya untuk melakukan pertemuan Nasional yang akan dilaksanakan di Batam.

 

Narahubung:

Ermelina Singereta, SH (Public Lawyer) : 0812. 1339.904

Pertemuan Perlindungan Bagi Pengungsi dari Kekerasan dan Diskriminasi

Pertemuan ini dilaksanakan Oleh IOM bagian Pengungsian dan Forum Pengada Layanan
(FPL), pertemuan ini dihadiri oleh berbagai lembaga diantaranya adalah Yayasan
Parinama Astha, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, LBH Keadilan, LBH Masyarakat,
Yayasan Pulih dan beberapa lembaga yang lainnya.

Pertemuan membahas untuk mengetahui siapa Migran dan pengungsi, dalam
penjelasan dari IOM mengatakan bahwa Migran berbeda dengan pengungsi karena
Migran merupakan orang-orang yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lai,
atau berpindah dari tempat asalnya ke tempat yang lain dan bahkan melewati batas
internasional baik itu dilakukan secara paksa atau sukarela, dalam kurun waktu
sebentar ataupun lama. Sementara pengungsi adalah orang-orang yang terpaksa pindah
dari negara asalnya karena mengalami penyiksaan karena perang atau karena
terjadinya bencana. Pengungsi memiliki ketakutan yang mendasar karena hidupnya
terancam karena alasan RAS, Agama, masalah kebangsaan tertentu, opini politik
tertentu atau menjadi anggota dari kelompok sosial tertentu.

Hukum International Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak.
Dalam memberikan perlindungan kepada Perempuan dan Anak, Badan PBB telah
mengeluarkan satu aturan tersendiri yang termuat dalam The Convention on the
Elimination off All Forms of Discrimination againts Women (CEDAW) adalah sebuah
Kesepakatan Internasional Untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan. Konvensi ini mengdefinisikan tentang hak-hak perempuan, mulai dari
standar norma-norma dan standar kewajiban, serta tanggung jawab negara dalam
penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Indonesia adalah salah satu negara
yang telah ikut menandatangani Konvensi ini dan telah diratifikasi melalui Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984. Hukum Internasional mengenai

Pengungsi Refugges convention 1951, pengungsi adalah orang –orang yang memiliki
rasa takut yang beralasan akan adanya penganiayaan karena RAS, Agama, Kebangsaan.
Keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pandangan politik yang berada di luar
negara asalnya dan tidak dapat atau karena rasa takutnya, tidak menerima
perlindungan dari negaranya.

Ada beberapa alasan orang memilih untuk mengungsi, hal ini terjadi karena adanya
perang, terancam hidupnya, kekerasan, kelaparan dan bencana dalam. Dalam konteks
masalah mengenai hal diatas, kita perlu memahami siapakah yang menjadi migran dan
pengungsi, migran adalah siapapun yang berpindah dari tempat asalnya ke daerah lain
di dalam negeri atau melewati batas internasional (luar negeri). Baik secara paksa atau
sukarela (waktu singkat ataupun lama), sementara pengungsi mereka yang terpaksa
pindah negara asalnya karena ancaman keselamatan hidupnya dan ada menjadi korban
penyiksaan. Karena perang ataupun karena bencana alam, pengungsi memiliki
ketakutan yang mendasar karena hidupnya terancam karena alasan Ras, agama,
kebangsaan tertentu, opini politik atau menjadi anggota dari kelompok sosial tertentu.

Ada beberapa layanan khusus bagi pengugsi dengan kerentanan khusus, pertama yang
perlu dilakukan adalah melakukan identifikasi, melakukan assesment dan dokumentasi,
hal yang perlu dilakukan adalah bagaimana melakukan koordinasi dengan otoritas
terkait (Imigrasi, Polisi, Pemda dan Lembaga terkait lainnya) dan agensi internasional
terkait UNHCR dalam merujuk dan merespon pemberian pelayanan khusus bagi
kelompok migran yang rentan. Data IOM menunjukan migran dengan kerentanan
khusus berdasarkan data pada Desember 2018 menunjukan 407 migran yang mana 77
% sudah didokumentasi profilenya dan 21 kasus SGBV dan 6 kasus KTA.

Setiap orang memiliki alasan tersendiri sehingga pada akhirnya mengungsi, namun
kebanyakan karena adanya perang, mengalami kekerasan, hidupnya terancam,
mengalami kelaparan dan mengalami bencana alam ataupun bencana sosial karena
konflik.

Dunia internasional telah memiliki aturan-aturan hukum yang mengatur tentang
pengungsi yang termuat dalam Hukum Internasional mengenai pengungsi (Reffugee

Convention 1951) dan Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini. Dalam Konvensi
Internasional tersebut menjelaskan bahwa Pengungsi adalah orang-orang yang
memiliki rasa takut yang beralasan akan adanya penganiayaan karena Ras, agama,
kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pandangan politik yang
berada di luar negara asalnya, dan tidak dapat atau karena rasa takutnya tidak
menerima perlindungan dari negaranya.

IOM juga memberikan informasi mengenai data migran di Indonesia, jumlah pengungsi
dan pencari suaka yang ada di Indonesia sebanyak 14.032 jiwa 1 , dan yang ditempatkan
di IOM sebanyak 8.481 orang 2 . Data peredaran migran dan pengungsi berdasarkan
tempat adalah sebagai berikut:
Bekasi (4), Balik Papan (7), Semarang (104), Kupang (275), Surabaya (385), Tanjung
Pinang (502), Batam (503), Pekanbaru (1140), Tangerang (1165), Makasar (1832),
Medan (2123),

Kondisi migran, migran itu tidak boleh bekerja (kegiatan yang menghasilkan uang),
menunggu dan menjalani proses verifikasi untuk tujuan resettlement yang tanpa
kepastian, meninggalkan keluarga dan saudara di negaranya, kehilangan banyak uang
untuk bisa mencapai Indonesia, tergantung sepenuhnya dukungan dari IOM, UNCHR
dan pemerintah Indonesia. Pengungsi hidup di Detensi imigrasi dan tempat
penampungan (rumah atau kompleks yang disewa untuk rumah tinggal pengungsi,
kebanyakan menamping keluarga dan anak-anak, sandang pangan tercukupi oleh IOM
dan aktivitas bebas)

Ada beberapa persoalan pengungsi yang seharusnya mendapatkan prioritas dan yang
mengalami kerentanan, diantaranya adalah: Children risk, age out UMC, seksual gender
bassed violence person, disability, medical concern, Elderly.

Hambatan yang sering dihdapi pengungsi diantaranya adalah memperoleh hak
perlindungan, tidak adanya identitas formal yang diakui pemerintah untuk mengakses
bantuan polisi, hukum dan layanan publik. Belum terimplementasikannya sistem

peradilan terpadu, adanya potensi diskriminasi terhadap kelompok minoritas
berdasarkan agama, orientasi seksual, dan orang-orang dengan kondisi khusus, masih
minimmnya pemahaman yang terbatas mengenai konteks migran, sehingga
menghambat dalam mengakses bantuan hukum, dan layanan publik, belum adanya
kejelasan sistem pelaporan untuk kasus migran dan perlindungan anak yang diabaikan
atau mendapatkan kekerasan.

Prihatin Perdagangan Orang, Jarnas Dorong Kerja Sama Semua Elemen

 

Jakarta-SuaraSikka.com: Jaringan Nasional (Jarnas) Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sangat prihatin dengan kasus perdagangan orang yang terjadi di Indonesia. Lembaga ini pun mendorong perlunya kerja sama semua elemen terkait.

Sebagai salah satu implementasinya, baru-baru ini Jarnas Anti TPPO melakukan kerjasama Internasional Organisasi Migrant (IOM). Pertemuan pekan lalu itu, dilakukan untuk memperkenalkan visi dan misi Jarnas Anti TPPO. Selain itu juga untuk membangun kerja sama dengan IOM dalam rangka pencegahan dan pemulangan korban TPPO.

Lembaga ini menilai masalah perdagangan orang di Indonesia, baik yang terjadi di luar negeri maupun dalam negeri sudah sangat rumit, sejak dari proses keberangkatan sampai pemulangan. Apalagi ada perlakuan di mana pekerja migran Indonesia (PMI) secara prosedural mendapatkan perlindungan hukum dari negara, dan ini berbeda dengan PMI yang non prosedural.

Dalam rilis kepada media ini disebutkan kasus perdagangan manusia di Indonesia terdata sebanyak 5.551 kasus, didominasi perdagangan perempuan dan anak. Dalam laporan Fellowship, perempuan memiliki tingkat kerentanan tertinggi sebanyak 4.888 (73 persen), anak perempuan 950 (14 persen), laki-laki dewasa 647 (10 persen) dan anak laki-laki 166 (2,5 persen).

Sementara masalah serius lainnya yakni kerentanan pada persoalan hukum, mulai dari mendapat hukuman yang berat, tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja mulai dari gaji, hak untuk libur, hak untuk beribadah dan segala persoalan pekerja migran lainnya, bahkan sampai dengan kehilangan nyawa.

Data statistik BNP2TKI menunjukan dalam rentang waktu 2012-2018, PMI  yang meninggal sebanyak 1.288. Malaysia merupakan negara penempatan yang menduduki posisi tertinggi dengan angka kematian sebanyak 462 kasus,  disusul Arab Saudi 224 Kasus, Taiwan 176 kasus, Korea Selatan 59 kasus, Brunai Darussalam 54 kasus, dan Hongkong 48 Kasus.

Pertemuan antara Jarnas Anti TPPO dihadiri Ketua Bidang Advokasi Gabriel Goa. Pria asal Kabupaten Ngada ini menyampaikan banyak persoalan yang dihadapi PMI, mulai dari keberangkatan sampai pada pemulangannya ke Indonesia.

Dia juga menyinggung soal tidak adanya keadilan hukum. Hemat dia, masih banyak kasus perdagangan orang yang tidak diproses secara hukum, karena kekurangan bukti-bukti dan juga tempat kejadiannya di luar negeri. Dia berharap ke depannya pemerintah Indonesia dapat melakukan kerja sama dengan negara penerima agar persoalan hukum PMI dapat terselesaikan dengan baik.

Sementara Among Pundhi Resi dari IOM mengatakan ada beberapa persoalan terkait TPPO, salah satunya adalah proses re-integrasi bagi korban. Dia menilai masih kurangnya pengawasan dalam melakukan pemberdayaan ekonomi bagi korban, sehingga lebih cenderung pemberdayaan ekonomi tidak maksimal. Saat ini IOM melakukan pelatihan kepada aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim di beberapa wilayah khususnya di NTT.

Jarnas Anti TPPO berharap ke depannya segala persoalan perdagangan orang dapat diselesaikan dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi korban, agar korban bisa mendapatkan keadilan hukum.*** (eny)

 

Source by : suarasikka.com

PERLUNYA KERJASAMA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH PERDAGANGAN ORANG

Jakarta, 08 Pebruari 2019, Parinama Astha selama ini telah bekerja untuk mengakhiri masalah Perdagangan Orang di Indonesia, kefokusan Parinama Astha pada masalah ini tidak terlepas dari berbagai kasus perdagangan orang baik yang terjadi di dalam negeri dan luar negeri, di mana Indonesia merupakan salah satu negara pengirim Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terbanyak di dunia setelah Filiphina. Masalah perdagangan orang, tidak terlepas adanya proses, cara dan tujuan dari tindakan yang telah dilakukan oleh para sindikat perdagangan orang dan kebanyakan pelakunya merupakan orang terdekat, misalnya keluarga, teman dan orang lain yang dikenal oleh korban ataupun keluarga korban.

 

Parinama Astha bersama dengan Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (JARNAS TPPO) saat ini, sedang menangani kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (Eksploitasi seksual) yang dialami oleh anak-anak di salah satu klub malam di Bali.

 

Kasus ini bermula dari adanya pengaduan seorang anak perempuan berinisial CH kepada salah satu anggota JARNAS yang ada di Bali dan pengaduan tersebut kemudian dilaporkan oleh anggota JARNAS ke Kepolisian. Kepolisian kemudian melakukan penggerebekan dan mendapati lima (5) orang korban anak dengan inisial AP, DB, BL dan PT yang berada di tempat penampungan tersebut.

 

Kasus ini telah diproses di Kepolisian dan setelah para korban memberikan keterangannya (BAP), para korban dikembalikan ke rumah orang tuanya masing-masing. Saat ini para korban sedang mendapatkan pemulihan terlebih dahulu di salah satu tempat di Jakarta, sebelum dipulangkan ke rumah orang tuanya masing-masing.

 

Ketua Yayasan Parinama Astha yang sekaligus merupakan Ketua JARNAS TPPO Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, memberikan apresiasi kepada Kepolisian Bali yang telah memproses kasus ini dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak-anak.

 

Selain itu Sara berharap agar para pelaku yang terlibat dalam kasus TPPO ini diproses dan dihukum dengan hukuman yang maksimal sesuai dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Juncto Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

 

Sara juga menambahkan bahwa proses pemulihan bagi korban menjadi prioritas dengan melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintah, masyarakat dan keluarga dan harus dipastikan proses re-integrasi bagi korban terlaksana dengan baik dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi korban anak.

 

APRESIASI KINERJA KEPOLISIAN BALI, PARINAMA ASTHA MINTA PELAKU TPPO DIHUKUM MAKSIMAL SESUAI UNDANG-UNDANG

Press Release
Jakarta, 08 Pebruari 2019, Parinama Astha selama ini telah bekerja untuk mengakhiri masalah Perdagangan Orang di Indonesia, kefokusan Parinama Astha pada masalah ini tidak terlepas dari berbagai kasus perdagangan orang baik yang terjadi di dalam negeri dan luar negeri, di mana Indonesia merupakan salah satu negara pengirim Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terbanyak di dunia setelah Filiphina. Masalah perdagangan orang, tidak terlepas adanya proses, cara dan tujuan dari tindakan yang telah dilakukan oleh para sindikat perdagangan orang dan kebanyakan pelakunya merupakan orang terdekat, misalnya keluarga, teman dan orang lain yang dikenal oleh korban ataupun keluarga korban.

Parinama Astha bersama dengan Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (JARNAS TPPO) saat ini, sedang menangani kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (Eksploitasi seksual) yang dialami oleh anak-anak di salah satu klub malam di Bali.

Kasus ini bermula dari adanya pengaduan seorang anak perempuan berinisial CH kepada salah satu anggota JARNAS yang ada di Bali dan pengaduan tersebut kemudian dilaporkan oleh anggota JARNAS ke Kepolisian. Kepolisian kemudian melakukan penggerebekan dan mendapati lima (5) orang korban anak dengan inisial AP, DB, BL dan PT yang berada di tempat penampungan tersebut.

Kasus ini telah diproses di Kepolisian dan setelah para korban memberikan keterangannya (BAP), para korban dikembalikan ke rumah orang tuanya masing-masing. Saat ini para korban sedang mendapatkan pemulihan terlebih dahulu di salah satu tempat di Jakarta, sebelum dipulangkan ke rumah orang tuanya masing-masing.

Ketua Yayasan Parinama Astha yang sekaligus merupakan Ketua JARNAS TPPO Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, memberikan apresiasi kepada Kepolisian Bali yang telah memproses kasus ini dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak-anak.

Selain itu Sara berharap agar para pelaku yang terlibat dalam kasus TPPO ini diproses dan dihukum dengan hukuman yang maksimal sesuai dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Juncto Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Sara juga menambahkan bahwa proses pemulihan bagi korban menjadi prioritas dengan melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintah, masyarakat dan keluarga dan harus dipastikan proses re-integrasi bagi korban terlaksana dengan baik dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi korban anak.

Narahubung:
Ermelina Singereta, SH (Public Lawyer) : 0812. 1339.904

Parinama Astha Inisiasi Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)

Jakarta, — Human trafficking atau perdagangan orang, saat ini dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Bahkan Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) menjadi kejahatan terbesar kedua di dunia setelah narkotika. Dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Againts Gender Violence), kampanye ini mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.

Di Indonesia, masalah perdagangan manusia meningkat terus. “Ironisnya, masyarakat umum belum begitu mengetahui dan menyadari bahwa ini adalah salah satu permasalahan yang sangat nyata dan mengancam Indonesia, negara yang masih berkembang, dengan banyaknya rakyat yang masih hidup dalam kemiskinan,” kata Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, yang biasa disapa dengan nama Sara, Pendiri dan Ketua Yayasan Parinama Astha (ParTha). Maka karena itu dalam rangka memperingati 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan tersebut diatas, Parinama Astha menginisiasi pertemuan nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang yang melibatkan para pegiat kemanusiaan yang fokus pada permasalahan perdagangan manusia di Indonesia.

Menurut keterangan dari Trafficking in person Report Indonesia, yang dikeluarkan oleh Kedutaan Amerika, dimana disampaikan bahwa pemerintah Indonesia belum memenuhi standar minimum pemberantasan perdagangan orang, akan tetapi ada upaya-upaya lebih banyak melakukan penyelidikan, penuntutan, penjatuhan hukuman kepada para pelaku perdagangan manusia dan melakukan identifikasi lebih banyak kepada korban. Maka upaya yang akan dilakukan ke depannya adalah dengan melakukan lebih banyak penyelidikan, penuntutan, penjatuhan hukuman kepada para pelaku perdagangan orang baik itu personal maupun koorporasi yang dimana saat ini masih sangat minim.

Pertemuan ini dilaksanakan selama dua hari, dan bertujuan untuk memperkuat kerja-kerja pendampingan dan pemberantasan TPPO di Indonesia. Menurut Sara pertemuan nasional ini adalah satu langkah awal khususnya bagi jaringan TPPO di Indonesia, agar dapat bekerja lebih efektif terkoordinir dan menghasilkan efek yang lebih maksimal bagi korban dan juga pelaku TPPO.

Andy Ardian dari Program Manajer ECPAT Indonesia mengatakan, pertemuan ini cukup strategis untuk menyatukan kembali kerja-kerja bersama dalam upaya penanggulangan TPPO. Andi berharap jaringan ini juga bisa bersinergi dengan jejaring dan pemangku kepentingan lainnya untuk saling mengisi kerja-kerja yang selama ini belum tertanggulangi.

Perwakilan LBH Apik Jakarta Said Niam mengatakan bahwa pertemuan sangat penting untuk membangun sinergitas antara daerah, untuk mengisi kekurangan lembaga yang satu dengan lembaga yang lain dalam memberikan perlindungan kepada korban, Said pun menambahkan bahwa jaringan ini akan menjadi lebih baik ke depannya dalam memberantas TPPO.

Sementara Direktur Bandungwangi, Endang Supriyati mengatakan bahwa pertemuan ini untuk menghadirkan jaringan yang efektif, dan sangat berkesusaian dengan kerja-kerja dari Bandungwangi yang melakukan pendampingan langsung kepada korban ESKA. Endang Supriyati berharap jaringan ini sebagai media untuk memudahkan dalam mengakses layanan yang dibutuhkan oleh korban.

Pertemuan ini juga menghadirkan Bapak Tamami, Direktur Bahtera dan mengatakan bahwa jaringan ini harus menjadi kekuatan untuk menekan pemerintah dan kepolisian, khususnya daerah Jawa Barat yang merupakan daerah sending terbesar buruh migran atau pun pekerja lokal. Pertemuan ini akan menjadikan skala prioritas dalam memberikan perlindungan bagi korban ke depannya.

Pertemuan ini menghasilkan beberapa rekomendasi yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu Pencegahan dan Kerjasama dengan melakukan edukasi, roadshow, riset, pengumpulan data, membuat dan mempererat jaringan dengan melakukan rapat tahunan, Litigasi dengan melakukan kerjasama dengan APH (Kepolisian, Jaksa dan Hakim), kementrian , melakukan diskusi terkait dengan persoalan TPPO dan melakukan pendampingan terhadap korban dan re-integrasi dengan melakukan assessment, dan program kembali ke masyarakat, perlindungan korban melalui save house, melakukan pembekalan dan pemberdayaan terhadap korban, untuk pembentukan susunan kepengurusan jaringan yang akan mengawal kerja-kerja jaringan ini ke depannya.

 

Meniti Harapan Pada Negeri Cincin Api

Press Release

(Pertemuan Jaringan di Labuan Bajo)

Meniti Harapan Pada Negeri Cincin Api”

Jakarta, November 2018,

 

 

Yayasan Parinama Astha ikut terlibat dalam Pertemuan Consultative Group Meeting On Anti Human Trafficking  In Indonesia and Timor Leste yang dilaksanakan di Hotel Luwansa Labuan Bajo, NTT. Pertemuan ini bertemakan “Meniti Harapan Pada Negeri Cincin Api.

 

Persoalan perdagangan manusia banyak terjadi di Indonesia, baik di dalam negeri maupun yang di luar negeri, sebagaimana disampaikan oleh Romo Paul Rahmat (Ketua Panitia) yang menyatakan bahwa kasus Trafficking di NTT  sangat banyak, rata-rata ada 9 (sembilan) Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang meninggal di luar negeri. Jumlah ini cenderung meningkat setiap tahunnya.

 

Pertemuan konsultasi ini dibuka oleh Wakil Gubernur NTT, Bapak Yosef Nae Soi, dan dihadiri oleh Bupati Manggarai Barat Bapak Agustinus Ch Dulla, jajaran FORKOPIMDA dan pimpinan SKPD Manggarai Barat. Pada pertemuan tersebut, Wakil Gubernur NTT menyampaikan bahwa Gubernur NTT Bapak Victor Laiskodat membuatkan aturan baru dengan memoratoriumkan keberangkatan TKI NTT ke luar negeri, walaupun kebijakan ini menuai pro dan kontra dari masyarakat.

 

Pertemuan ini dihadiri oleh 46 orang yang mewakili berbagai lembaga seperti LSM Lokal dan Nasional, Lembaga berbasis agama, pemimpin agama, perwakilan pemerintah, aparat penegak hukum, lembaga peneliti dan media, Lembaga Internasional seperti IOM dan ILO dan para penyintas perdagangan manusia dari seluruh Indonesia dan Timor Leste. Terbangunnya kerjasama yang lebih erat dan jejaring nasional yang menghubungkan daerah-daerah yang rawan terhadap persoalan Perdagangan manusia di Indonesia dan Timor Leste merupakan hasil yang dicapai dari Pertemuan Consultative Group Meeting On Anti Human Trafficking  In Indonesia and Timor Leste ini.

 

Data BNP2TKI (2017) yang terdapat pada Sistem  pengaduan di Pusat Krisis milik Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menunjukkan bahwa BNP2TKI menerima 4.475 pengaduan dari pekerja yang ditempatkan di luar negeri, termasuk 71 kasus yang dipastikan sebagai perdagangan manusia dan 2.430 kasus yang memiliki indikator perdagangan manusia.[1] Sementara data ECPAT Indonesia pada tahun 2017, menunjukan kasus perdagangan anak untuk tujuan seksual yang terjadi dalam negeri sebanyak 537 kasus.[2] Data ini belum maksimal karena sampai sejauh ini belum ada lembaga khusus yang bertugas untuk mendata perdagangan manusia untuk tujuan dieksploitasi.

Pada pertemuan terpisah, Ketua Yayasan Parinama Astha (ParTha), Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, atau yang dikenal sebagai Sara, menyampaikan bahwa persoalan perdagangan manusia terjadi karena adanya ketimpangan ekonomi.

“Saudara/saudari kita tidak perlu mencari pekerjaan di luar negeri jika di negara mereka sendiri ada lapangan pekerjaan yang memadai dan sistem pendidikan yang dapat menghantarkan anak-anak kita ke pekerjaan yang layak. Tidak ada ibu yang mau meninggalkan anaknya selama bertahun-tahun jika bukan karena keharusan,” ujar pendiri yayasan yang telah didirikannya sejak 2012 ini.

Sara menambahkan bahwa persoalan perdagangan manusia tidak hanya terjadi untuk mereka yang berangkat ke luar negeri, namun perdagangan manusia juga terjadi untuk mereka yang ada dalam negeri, banyak anak-anak yang diperdagangkan untuk dieksploitasi, baik itu secara fisik maupun seksual.

Oleh sebab itu, ParTha hadir dengan memperjuangkan rumah aman dan pemulihan bagi para korban, melakukan sosialisasi kepada masyarakat, anhak muda dan pihak terkait lainnya mengenai perdagangan manusia dan juga ikut terlibat dalam melakukan advokasi bersama dengan lembaga lainnya untuk melawan perdagangan orang di Indonesia.

[1] https://id.usembassy.gov/id/our-relationship-id/official-reports-id/la, diunduh pada tanggal 19/11-2018, pukul 23.03

[2] https://ecpatindonesia.org/berita/catatan-ecpat-indonesia-tahun-2017-404-anak-menjadi-korban-eska/

SPK Kerjasama antara Parinama Astha dengan LBH APIK

Jakarta, 07 November 2018

 

Tak dapat dipungkuri berbagai laporan dari lembaga negara serta para pegiat aktivis sosial yang bekerja pada isu perdagangan manusia masih mendapatkan tantangan dan hambatan besar. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya korban berjatuhan terkait tindak pidana perdagangan manusia.

 

Laporan dari pihak kepolisian dari 123 kasus TPPO baru 110 yang diproses banding. Sementara di MA sendiri sudah ada 51 berkas yang diproses, sementara 407 penuntutan kasus selama 2017. Hal ini meningkat 263 dari penuntutan sebelumnya. Data ini justru jauh berbeda dari apa yang dilaporkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat yang konsern pada isu TPPO. Dari berbagai data dan informasi yang ditemukan bahwa ada problem koordinasi antar lembaga negara telah menghambat upaya pemerintah untuk menyelidiki, menuntut, dan menghukum para pelaku, terutama ketika pada kasus yang melibatkan sejumlah wilayah yuridiksi atau negara lain. Unit Tindak Pidana Perdagangan Orang Kepolisian Republik Indonesia tidak memiliki mekanisme untuk melacak investigasi di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten, sehingga mempersulit mereka dalam menentukan total jumlah investigasi dan kasus yang terselesaikan.

 

Berangkat dari persoalan tersebut, bertempat di Kantor LBH APIK Jakarta, telah ditandatangani kerjasama antara Parinama Astha atau biasa dikenal dengan Parthadengan LBH APIK dalam rangka mempermudah kerja-kerja advokasi Pemberantasan Perdagangan Manusia. Perjanjian ini di tandatangi oleh kedua pimpinan lembaga dan diharapkan menjadi model pengelolaan dan kerjasama antar lembaga yang konsern pada perdagangan manusia.

 

Menurut Ketua Yayasan Partha , Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, atau biasa dikenal dengan Sara, bahwa kerjasama ini mempermudah kedua lembaga untuk penananan kasus baik dari proses awal hingga pemulihan. “ Kerjasama ini sudah lama direncanakan dan kemudian baru Perjanjian Kerjasama di tandatangani”, imbuhnya. “Sebenarnya kami sudah bekerjasama sebelum ada PKS ini, namun karena ada beberapa kendala dilapangan, maka kami sepakat untuk membuat sebuah kesepakatan dengan tujuannya adalah memperkuat jaringan dan memberikan harapan lebih pasti pada penyintas”, demikian Sara menambahkan.

 

Demikian juga dengan Direktur LBH APIK Jakarta, Siti Mazumah atau biasa di panggil Zuma, menerangkan bahwa banyak pekerjaan dalam melawan perdagangan manusia, dan menyambut baik kerjasama dengan Parinama Astha. “ Kami berterimakasih kepada Yayasan Partha yang sudah mau bekerjasama dengan kami sebagai lembaga yang fokus pada litigasi korban. Dan Partha memberikan peran berbeda dalam kerjasama penanganan yakni pemulihan dan pemberian rumah aman bagi korban TPPO”, ucapnya.

 

Dalam kegiatan perjanjian kerjama tersebut juga dilaksanakan diskusi dengan para penyintas yang telah mampu pulih dan berdaya. Diantara hasil karya mereka dengan memproduksi produk-produk makanan yang gurih dan enak. Pada kesempatan tersebut, Partha memborong hasil olahan makanan dari penyintas tersebut, sebagai bentuk dukungan terhadap para penyintas. (IH)

MELAKUKAN kerjasama dengan kpai DALAM MELAKUKAN Advokasi PERLINDUNGAN korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) DI iNDONESIA

PARTHA MEMPERJUANGKAN KEADILAN KORBAN TPPO MELALUI REHABILITASI DAN RE-INTEGRASI BAGI KORBAN TPPO DI Indonesia.

 

Jakarta, 14 Mei 2018, Parinama Astha (ParTha) melakukan pertemuan dengan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ParTha bertemu dengan ibu Ai Maryati Soliah, Komisioner bidang TPPO dan Ekspolitasi Anak, Pertemuan ini dalam rangka untuk melakukan kerjasama antara ParTha dengan KPAI khususnya dalam rangka memberikan perlindungan, pemenuhan hak-hak anak yang menjadi korban perdagangan orang di Indonesia.

 

Pertemuan tersebut menjelaskan mengenai situasi dan kondisi anak-anak di Indonesia yang banyak menjadi korban TPPO, tentu dengan motif yang berbeda-beda, mulai dari anak yang bekerja di Hotel, SPA, Kafe dan beberapa tempat yang lainnya. Menurut penjelasan Ibu Ai mengatakan bahwa pada April yang lalu, KPAI telah melakukan pertemuan dengan organisasi-organisasi tempat hiburan untuk menyampaikan terkait dengan pekerja anak di tempat-tempat rentan, dan pertemuan tersebut menghasilkan satu titik kesepakatan bahwa tidak akan ada perusahaan hiburan yang mempekerjakan anak di bawah umur. Selain itu Ibu Ai menjelaskan bahwa KPAI masih sangat susah melakukan pendekatan ke penghuni atau pengelola Apartemen untuk melakukan pengawasan terhadap penghuni apartemen yang dimana fungsi apartemen tidak sesuai dengan yang sebenarnya, dimana saat ini banyak apartemen yang berubah fungsi menjadi tempat prostitusi.

 

Pertemuan ini juga, ParTha menjelaskan mengenai kerja-kerja yang dilakukan oleh ParTha dalam rangka memberikan perlindungan dan pemenuhan hak bagi korban TPPO. ParTha fokus pada Kampanye, Pemulihan Korban TPPO, mulai dari proses Rehabilitasi baik itu secara psikologis dan juga fisik dan melakukan Re-Integrasi sosial bagi korban TPPO untuk dapat kembali kepada Keluarga dan Masyarakat. Selain itu ParTha juga memilik rumah Aman yang digunakan untuk memberikan perlindungan bagi korban TPPO untuk sementara.

 

Sejauh ini ParTha telah memiliki rumah aman yang berada di Solo, Jawa Tengah, Rumah Aman milik Partha dilengkapi dengan fasilitas yang ramah pada korban, baik itu korban TPPO, Kekerasan seksual dan ekspolitasi seksual pada perempuan dan anak. ParTha juga sedang mempersiapkan rumah aman di Jakarta, hal ini karena Jakarta sebagai ibu kota Negara menjadi central dari semua kejahatan TPPO.

 

Pertemuan ini menghasilkan beberapa point penting antara lain:

  1. Bahwa KPAI siap untuk bekerjasama dengan ParTha ke depannya khususnya berkaitan dengan tugas dan fungsi dari ParTha
  2. ParTha terlibat pada kegiatan advokasi TPPO dalam rangka memberantas dan mengakhiri tindak pidana perdagangan Orang di Indonesia khususnya bagi perempuan dan anak.

Foto Pertemuan (Tengah, Ibu Ai Maryati Soilah, Komisioner KPAI Bidang TPPO dan Ekspolitasi Anak)

Blessings of Ramadhan, Kemeriahan Program Ramadhan Plaza Indonesia

Bulan Ramadhan adalah bulan yang selalu dinantikan oleh seluruh umat muslim, termasuk Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar dunia. Sebagai pusat ritel dan gaya hidup terdepan di Indonesia, Plaza Indonesia telah merancang berbagai kegiatan dalam menyambut Ramadhan 1439 H dengan menghadirkan program Blessings Of Ramadhan. Customer dan pengunjung setia Plaza Indonesia dapat menikmati berbagai kegiatan mulai dari menu kuliner santap berbuka puasa, Ramadhan Souq, pertunjukan seni & musik Timur Tengah, hingga pagelaran mode muslim & modest wear show bersama desainer terbaik Indonesia.

“Pagelaran fashion modest wear dengan tema Ramadhan In Style dimana Plaza Indonesia berkolaborasi dengan 5 fashion designer untuk menghadirkan tren terbaru dari busana muslim namun yang arahnya lebih ke modest fashion. Sebuah koleksi pakaian sopan dan berkarakter yang dapat digunakan sebagai busana Ramadhan untuk pergi ke masjid, pengajian, atau silaturahmi pada saat lebaran”.

Source: Ria Juwita, Event & Promotions Senior Manager & Creative Services Plaza Indonesia

Terinspirasi dari desain dan eksotisme kultur souq atau pasar tradisional yang berasal dari Maroko, yang kental dengan nuansa Islami, Plaza Indonesia menggelar Ramadhan Souq Fashion & Culinary namun hadir dalam sentuhan dan tampilan modern. Ramadhan Souq Fashion akan berlangsung di Multi Function Hall level 2, dari tanggal 21 Mei 2018 – 10 Juni 2018. Ramadhan Souq akan menghadirkan 17 brand fashion yaitu ; Itang Yunasz, Shafira, Si.Se.Sa, Titi Arief, Nawasan, Ratu (Lentera), Handi Hartono, Nina Nugroho, Rajjas Batik, Darobira, Tali Modest Clothing, Manjusha Nusantara, Tulola Design, Reeindonesia, Purana, dan Batik Chic.

Pada Ramadhan kali ini Plaza Indonesia akan berkolaborasi dengan 5 desainer dan brand kenamaan Indonesia, yaitu; Itang Yunazs, Iwan Tirta Private Collection, IKKAT by Didiet Maulana, HAPPA by Mel Ahyar, dan Ghea Indonesia by Ghea Panggabean untuk tampil pada fashion show dengan tema Ramadhan in Style. Para desainer dan brand ini akan mempertunjukan koleksi modest wear terbaru dan karya-karya ekslusif mereka dalam sebuah fashion show yang akan  berlangsung dari tanggal 21 – 25 Mei bertempat di La Moda Cafe, Plaza Indonesia Level 1. Pagelaran fashion modest wear ini juga menampilkan koleksi jewelry dari Adelle Jewelry.

Bertepatan dengan diselenggarakannya Ramadhan In Style, Plaza Indonesia juga menggelar Silent Auction dari koleksi desainer dan brand yang terlibat dalam fashion show ini. Keseluruhan hasil lelang akan diberikan kepada yayasan Parinama Astha, yaitu sebuah yayasan yang fokus dalam gerakan anti human trafficking di Indonesia dengan dua fokus kegiatan yaitu pencegahan dan reintegrasi. Dana yang terkumpul dari lelang karya desainer ini akan digunakan dalam berbagai kegiatan yang bertujuan untuk membangun kesadaran di masyarakat guna melawan sindikat perdagangan manusia dan juga membantu korban tunggal yang telah diselamatkan atau yang telah berhasil melarikan diri untuk biaya perawatan, akses rehabilitasi yang layak, serta menyembuhkan, baik secara emosional dan fisik.

sumber : https://moeslema.com/5885