Keponakan Prabowo dirikan yayasan buat perangi perdagangan manusia

Rahayu Saraswati Djojohadikusumo. ©dpr.go.id

Merdeka.com – Anggota Komisi VIII DPR Rahayu Saraswati D Djojohadikusumo mengaku prihatin dengan tingginya angka perdagangan manusia di Indonesia. Oleh sebab itu, dirinya mendirikan Yayasan Parinama Astha yang fokus untuk memerangi perdagangan manusia.

 

“Setelah saya melakukan riset, maka saya harus melakukan sesuatu, kemudian tahun 2012 saya membuat organisasi tersebut,” kata dia dalam acara Trunk Show For A Cause di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (31/1).

Perdagangan manusia, lanjut Saras, terbilang tinggi jumlahnya. Dengan beragam modus, banyak orang Indonesia yang diperdagangkan ke luar negeri seperti Timur Tengah. Sedangkan di Indonesia juga terjadi di Bali, Papua, Batam dan daerah-daerah lainnya.

Dalam acara Trunk Show For A Cause atau bazar yang digelarnya, keponakan Prabowo Subianto ini menggandeng artis-artis dan pengusaha muda untuk turut serta memerangi perdagangan manusia. Hasil dari penjualan bazar tersebut, didonasikan langsung ke yayasan untuk program pembinaan korban kekerasan terhadap perempuan, anak dan perdagangan manusia.

Selain itu, putri Hashim Djojohadikusumo itu memiliki mimpi ingin membuat database bagi korban perdagangan manusia. Sebab, saat ini kekerasan akibat perdagangan manusia hanya berasal dari laporan ke kepolisian. Sedangkan masih banyak dari mereka yang menjadi korban yang merasa takut untuk membuat laporan.

“Saya punya mimpi Indonesia bukan negara ekspor TKI, kita harus punya lapangan kerja yang baik. Kita punya impian besar, kita maunya enggak ada perdagangan manusia. Ini yang saya perjuangkan di komisi VIII DPR,” tandasnya.

Dalam kesempatan ini, Politikus Gerindra itu mengundang sejumlah artis. Seperti Desi Ratnasari, Atiqah Hasiholan, Dian Sastrowardoyo, Harumi Sudradjat, dan artis lainnya.

Cegah Penyiksaan Anak, Parinama Astha Gandeng Perusahaan Ternama Dunia

RMOL. Untuk mengurangi angka penyiksaan anak melalui internet, Yayasan Parinama Astha segera mengadakan pertemuan tingkat tinggi mengundang lembaga internasional dan nasional.

Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan pada anak melalui materi internet, khususnya yang berkaitan dengan pornografi marak terjadi. Bahkan, kegiatan ini telah menjadi bisnis industri yang sangat besar. Pusat data kebijakan Arizona memeprkirakan nilai industri pornografi anak bernilai $ 50 miliar dolar per tahun. Bahkan, Indonesia menempati urutan pertama sebagai pengunduh dan pengunggah konten pornografi penyiksaan terhadap anak di dunia.

“Akan diadakan usai pelantikan presiden. Kita berharap presiden terpilih nanti dapat memahami kasus ini. Kita menunggu kabinet baru. Kita ajak beberapa kementerian, terutama Kominfo dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,” ujar Saras di Mid Plaza, Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (18/6).

Tak hanya itu, lembaga ini juga mengundang lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal dan internasional, Interpol, FBI, NCMEC dan ICMEC atau lembaga yang mengerti soal transaksi keuangan di internet dan yang terpenting adalah salah salah satu social network yang belum bisa disebutkan namanya yang selama ini kerab dikunjungi di media sosial.

“Ada juga dari microsoft, CEO internet service provider seperti indovision, firstmedia dan sejenisnya, tim dari google, yahoo, financial provit provider seperti master card, visa dan bahkan bank-bank yang ikut di dalamnya, seperti BNI, Mandiri, BCA, semuanya,” tegas Saras.

Dalam pertemuan tersebut, Saras berharap seluruhnya menyetujui dan mau menandatangani perjanjian. Atau pakta integritas bersama dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU) bagi seluruh stakeholders yang hadir dalam acara tersebut.

“Diharapkan mereka mengerti dan menyetujui membantu memblokir child abuse material ini. Tujuan kita adalah MOU di pertemuan tersebut,” papar Saras.

 

sumber : http://politik.rmol.co/read/2014/06/18/160061/Cegah-Penyiksaan-Anak,-Parinama-Astha-Gandeng-Perusahaan-Ternama-Dunia-

 

Saraswati Djojohadikusumo: “Wanita Indonesia Bisa Maju Lewat Kebijakan Pemerintah yang Pro Perempuan”

 

Jakarta, innews.co.id – Budaya patriarkhi masih demikian kuat mencengkram di republik ini hingga membuat banyak perempuan Indonesia mengalami diskriminasi. Menurut Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra, budaya patriarkhi sinonim dengan budaya yang tidak memberikan kesamaan hak bagi perempuan, seperti yang ada pada kaum pria.

Tapi, menurut Sara, sapaan akrab Saraswati Djojohadikusumo, intinya bagaimana budaya, baik patriarkhi atau matriarkhi berperan membentuk opini masyarakat mengenai kesetaraan gender.

Lebih jauh tentang wujud kesetaraan gender yang diharapkan, Sara menegaskan, tentu pada semua lini bermasyarakat. “Kalau pun ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki secara kodrati, maupun pada aspek kelemahan dan kekuatan masing-masing, tapi untuk kesetaraan gender yang dimaksud adalah bagaimana bisa terjadi kesamaan hak,” ujarnya.

Hak yang dimaksud, antara lain untuk mendapatkan akses pendidikan, mendapatkan upah yang sama, juga akses pada lapangan pekerjaan harus sama. “Jangan ada lagi diskriminasi bahwa suatu pekerjaan hanya untuk kaum pria, sementara wanita tidak boleh. Kesetaraan itu bukan hanya lahir dari bottom – up, tapi juga para pemimpin bisa memberikan contoh melalui kebijakan-kebijakan yang pro kesetaraan gender,” ujarnya.

Saat ini, menurut Sara, bicara soal keterwakilan perempuan dalam dunia politik saja masih timpang. Di DPR saja, jumlah perempuan masih 18 persen dari total seluruh anggotanya. Dengan kata lain, kesetaraan gender belum benar-benar terwujud.

Wanita tangguh

Bicara soal ‘wajah’ perempuan di Indonesia, menurut Sara, sebenarnya adalah sosok yang tangguh, serba bisa, dan terus berjuang bagi keluarga serta berkorban demi masa depan anak-anaknya. “Perempuan harus dilihat bukan saja sebagai tiang keluarga, tapi juga penggerak ekonomi Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari industri rumahan yang banyak dilakoni kaum perempuan. Karena itu, harus diberi ruang agar perempuan bisa berkembang dan menjadi kontributor ekonomi yang lebih besar lagi,” urai Anggota Komisi VIII DPR RI ini.

Apakah pemerintah sekarang sudah cukup peduli dengan nasib perempuan Indonesia? Dengan lugas Sara berujar, “Lihat saja anggaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sangat kecil, hanya Rp500-Rp700 milyar per tahun. Begitu juga kebijakan-kebijakan perlindungan perempuan pun sangat minim.”

Begitu juga Kementerian P3A masih kluster 3, yang tergolong kementerian koordinatif, bukan kementerian teknis. “Berbeda dengan Kementerian Sosial yang anggarannya berkali-kali lipat lebih besar dari Kementerian P3A, kira-kira Rp20-Rp22 triliun. Sangat jomplang sekali. Itu semua kembali pada kepemimpinan yang menelurkan kebijakan-kebijakan yang pro atau tidak pada kaum perempuan,” tandas Sara.

Menurut dia, sistem demokrasi yang ada di Indonesia terlalu liberal. Di satu sisi boleh-boleh saja. Hanya saja bila dikorelasikan dalam konteks bagaimana peran perempuan belum sistem tersebut dapat mendukung. Ini nampak dari kemandirian banyak perempuan Indonesia yang lebih banyak disupport oleh keluarga, sementara dirinya pribadi sebenarnya belum siap, apalagi masuk dunia politik. “Kalau kita mau benar-benar membuka peluang perempuan maju dalam dunia politik, tentunya kita harus memperbaiki sistem serta menjadikan perempuan sejahtera. Hingga sampai pada satu titik di mana perempuan bisa masuk dunia politik,” imbuh Sara.

Kepada kaum perempuan sendiri, Sara menyarankan untuk bisa mendukung satu sama lain. “Seringkali kita melihat bahwa perempuan punya double standard. Untuk itu, kita harus mulai mereprogram diri kita sendiri sehingga bisa mendukung antar-sesama perempuan,” tukasnya.

Selain itu, kita harus dorong kebijakan-kebijakan pemerintah dan sektor swasta serta dunia usaha agar bisa melahirkan pemimpin-pemimpin perempuan yang kuat dan bisa menjadi contoh dan teladan bagi perempuan-perempuan yang lain. “Kita perlu Kartini-Kartini dan Cut Nyak Dien baru agar Indonesia semakin kuat. Seperti kita ketahui, pahlawan perempuan di Indonesia juga cukup banyak. Itu artinya, sejak dulu perempuan sudah punya andil dalam memerdekakan bangsa ini,” ujar Sara tuntas. (RN)

 

sumber : http://innews.co.id/

Partha dan LBH APIK Jakarta berkomitmen Lawan Perdagangan Manusia

Jalarta, Februari 2018.

 

 

Bertempat di Kantor LBH APIK Jakarta, telah bertemu Partha yang di wakili oleh koordinator nasional Irhash Ahmady dengan DIrektur LBH APIK Jakarta yang baru Siti Mazuma. Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya yang telah dilakukan di kantor Partha. Adapun poin-poin kesepekatan diantara dua lembaga ini adalah berkomitmen membangun kerja sama yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan kedua belah pihak. Salah satu yang menjadi ukurannya adalah bagaimana upaya perlindungan korban perdagangan manusia secara komprehensif, baik di aspek hukum maupun pemulihan mental dan jiwa korban.

 

Sebagai organisasi yang sudah konsern terhadap perlindungan hukum, LBH-APIK , Siti Mazuma yang biasa di panggil Zuma menyambut baik baik usulan kerja sama yang lebih mengikat dan dtuangkan dalam sebuah kesepakatan kerja bersama. “ Kami sangat mendukung upaya kerjasama ini, apalagi kami sangat kebingungan jika ada korban yang butuh perlindungan dan pemulihan kondisi psikologis dan psikisnya”. Menurut Zuma, khususnya di Jakarta agak kebingungan mencari mitra yang mampu memberikan pelayan kesehatan dan pemulihan kepada korban. “Semoga dengan adanya Partha akan memberikan kontribusi dalam upaya melindungi hak korban perdagangan manusia”, imbuhnya.

 

Senada dengan hal itu, Koordinator Nasional Partha Irhash Ahmady juga menjelaskan bahwa upaya kerja sama ini adalah bagian integral dari komitmen partha berjejaring saling melengkapi satu sama lain dalam upaya perlindungan hak korban.”Kami tau bahwa LBH-APIK sangat konsern terhadap perlindungan hukum, namuan memiliki kelemahan dalam pelayanan pemulihan hak korban, oleh karenanya Partha hadir untuk menjembatani itu”.

 

Kehadiran rumah aman dan pelayanan yang diberikan Partha untuk pemulihan hak korban merupakan jawaban dari kondisi rumah aman korban perdagangan manusia di Indonesia. Ketua Yayasan Partha, sekaligus anggota DPR RI Komisi VIII Rayahu Saraswati Djojohadikusumo menjelaskan bahwa Kementerian sosial yang menjadi mitra tidak memiliki rumah aman yang layak bagi korban perdagangan manusia. “ Saya berkunjung ke berbagai wilayah, banyak ditemukan rumah aman dari Kemensos yang tidak layak disebut rumah aman, atau bahkan shelter sementarapun tidak layak”. “Bagaimana korban bisa menjalani proses pemulihan secara baik”, imbuh nya.

 

Kerjasama antara LBH APIK dengan Partha diharapkan dapat berjalan dengan baik dan komitmen tersebut dapat dituangkan dalam sebuah kesepakatan bersama antara kedua belah pihak. Sehingga upaya pemberantasan perdagangan manusia dapat dikurangi dan hak-hak korban dapat dipulihkan.

 

 

Partha bertemu dengan Ka Bareskrim Mabes Polri

Jakarta, 26 Maret 2018

 

Data yang dihimpun dari berbagai lembaga diketahui bahwa sepanjang 2017 ada 21 laporan polisi (LP) mengenai perdagangan orang diterima oleh Polri. Akan tetapi hanya satu perkara sudah dilimpahkan ke Kejaksaan dan sisanya masih proses sidik. Dalam proses penanganan, menurut data dari Kedutaan Amerika bahwa keterlibatan pejabat yang korup terlihat andil dalam pemalsuan dokumen, pelemahan tuntutan. Selain itu minimnya pemahaman aparat terkait dalam menjalankan UU TPPO menyebabkan sebagian penuntut umum dan hakim menolak kasus, atau menggunakan hukum lain untuk menuntut para pelaku perdagangan manusia

 

Melihat situasi inilah, Partha melakukan komunikasi dengan pihak kepolisian khususnya Bareskrim Mabes Polri untuk mengkomunikasikan langkah-langkah strategis dalam menangani tindak pidana perdagangan manusia. Ditemui langsung oleh Ka Bareskrim Komjen Pol Ari Dono Sukmanto, Ketua Yayasan Parinama Astha Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menjelaskan maksud dan tujuan pertemuan dengan Mabes Polri. Diantaranya adalah posisi Partha sebagai Lembaga yang berkomitmen untuk menjalankan program pemulihan terhadap korban TPPO, dan meminta komitmen Polri untuk memberantas perdagangan manusia. Sekaligus bagaiman jika Partha bekerjasama dengan Mabes Polri dalam hal ini Unit di Bareskrem yang menangani tindak perdagangan manusia.

 

Komjen Pol Ari Dono Sukmanto merespon positif pertemuan dan menyatakan akan berkoordinasi langsung dengan direktur terkait dan mendiskusikan secara internal sebelum membuat kerjasama yang lebih baik dengan Partha. “ Polri sangat berterimakasih bahwa ada lembaga yang bisa membantu bekerjasama dengan Polri dalam kerangka pemberantasan TPPO”. “JIka ada anak buah kami yang sedang menangani kasus TPPO dan korban membutuhkan rumah aman kami akan berkoordinasi dengan Partha” tambah Pak Ari.

Ketua Yayasan Partha,Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menjelaskan tujuan Partha berkomunikasi dengan Kabareskrim untuk membantu Polri menyelesaikan kasus TPPO secara komprehensif. “Core bussiness kami adalah pemulihan hak korban dengan memberikan pelayanan di rumah aman yang sudah kami miliki. Sementara sering kali pihak kepolisian kebingungan mencari rumah aman untuk korban selama proses penyidikan berlangsung”. Oleh karenanya, Partha membuka komunikasi agar ada satu kesepakatan bahwa Mabes Polri sudah membangun kerjasama dengan Partha. “ Jadi jika ada korban, pihak kepolisian langsung merujuk ke Partha untuk menjadi mitra dalam pemulihan” tambah Ibu Sara.

 

Diskusi ini adalah pembuka kerjasama lebih lanjut dengan Direktur terkait TPPO agar Partha dapat menindaklanjutinya untuk membicarakan hal kongkrit dan teknis dengan direktur bersangkutan.

 

 

 

 

 

 

Memperluas Jaringan Kerja Anti Perdagangan Manusia

Jakarta, 18 November 2017,

Di penghujung tahun 2017, Partha membangun komunikasi dengan jaringan kerja anti perdagangan orang di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pengembangan wilayah ini dirasakan perlu untuk menjawab kebutuhan tentang pelayan pembangunan rumah aman di berbagai wilayah di Indonesia sesuai cita-cita pendirian Partha. Sejalan juga dengan isu yang berkembang selama ini bahwa NTT dan NTB sangat pelik probem perdagangan manusia. Banyak korban berjatuhan tanpa ada keadilan, sementara tidak ada jaringan dan atau lembaga yang konsern untuk pemulihan. Dalam konteks itulah Parinama Astha hadir untuk menjawab persoalan yang telah menjadi isu nasional.

Dalam kesempatan pada tanggal 13-16 November, Koordinator Nasional Parinama Astha yakni Irhash Ahmady, melakukan kunjungan daerah untuk bertatap muka dengan jaringan yang ada dan sudah bekerja lama di isu perdagangan manusia. Diantaranya adalah LBH APIK- NTB dan Lembaga jaringan dari Wadah Titian harapan dan Aksira . Diskusi bersama LBH APIK-NTB menjelaskan bahwa mereka menangani banyak kasus perdagangan manusia yang melibatkan aparat penegak hukum. “ Kami pernah menangani kasus perdagangan orang dimana dua perempuan ditipu oleh seseorang untuk dipekerjakan di rumah makan, tau-taunya dipekerjakan di diskotik di Sengigi”, ujar iman staf advokasi LBH APIK NTB.

 

 

Cerita berbeda disampaikan oleh Ibu Nurul yang juga merupakan aktivis Aksira NTB, beliau memaparkan persoalan diskriminasi di Lombok ini cukup tinggi. Perempuan mengalami kekerasan sementara jika bekerja menjadi BMI tidak mendapatkan jaminan keselamatan. Saat ini, tercatat sekitar 56.672 masyarakat NTB yang bekerja di luar negeri, terdiri dari laki-laki sebanyak 45.256 orang dan perempuan sekitar 11.416 orang, meraka berasal dari kota Mataram sebanyak 140 orang, Kota Bima 90 orang, Kabupaten Lombok Barat 4.602 orang, Lombok Timur 24.281 orang, Lombok Utara 887 orang, serta Bima 1.709 orang, dan Kabupaten Lombok Timur menjadi pengirim terbesar di NTB bahkan tertinggi jika dibandingkan kota/kabupaten se-indonesia. “Isu kekerasan perempuan dan perdagangan manusia cukup tinggi di Lombok, bukan hanya pengirim akan tetapi juga penerima, apalagi Mandalika sudah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional untuk pariwisata. Otomatis akan berkembang pusat-pusat hiburan malam, ini yang kami takutkan”, Nurul berkilah. Dalam percakapan tersebut menyambut baik kehadiran Partha di NTB dan dapat diajak bekerjasama untuk kepentingan perlawanan terhadap perdagangan manusia.

 

 

Selain berkunjung ke jaringan masyarakat, Partha juga bertatap muka dengan pihak pemerintah kabupaten Lombok Tengah sebagai pintu masuk warga luar ke wilayah lombok. “ Kami menyambut baik kehadiran partha di Bumi Seribu Masjid ini, berharap akan bekerjasama untuk mengurangi tindak perdagangan manusia di NTB, dan Lombok tengah sebagai pintu gerbang berkomitmen penuh mendukung agenda Partha tersebut” sambut wakil bupati lombok tengah,-

Partha kampanye di Kampus UI

Jakarta, 07 Maret 2018

Bertempat di auditorioum Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Parinama Astha melakukan kampanye publik tentang perdagangan manusia. Bekerjasama dengan BEM FISIP dan Organisasi Mahasiwa Ekstra Kampus Front Mahasiswa Nasional mengadakan Dialog Publik bertema “Mengetahui Mencegah dan Memahami Perdagangan manusia di sekitar kita”. Kegiatan yang dihadiri lebih dari 60 mahasiswa dari berbagai fakultas. Turut hadir juga Ketua BEM UI yang pada waktu lalu memberikan kartu kuning kepada Presiden Jokowi ketika memberikan kuliah umum di UI.

 

Kegiatan yang dimoderatori oleh Priscillia Yovia yang juga mahasiswa fakultas hukum sekaligus ketua bidang perempuan Front Mahasiswa Nasional sangat luags membawakan acara yang diisi oleh pembicara dari IOM Indonesia dan Ketua Yayasan Parinama Astha dan juga mantan buruh migran. Kegiatan dialog berjalan selama lebih dari tiga jam ini sangat memberikan gambaran kepada mahasiswa bahwa sangat sedikit sekali mahasiswa yang konsern terhadap isu perdagangan manusia. “Kegiatan seperti ini perlu diikuti secara penuh oleh Mahasiswa, apalagi keterlibatan aktif dalam riset-riset perdagangan manusia”, sambutan Rahayu Saraswati yang biasa disapa Ibu Sara. “ Sangat sedikit data dan studi, jika ditanya berapa jumlah Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia sangat berbeda satu instansi dengan instansi lainnya. Sementara ini fenomena gunung es”, kilah Ibu Sara yang juga Anggota DPR Komisi VIII.

 

Emmy Nurmila dari International Organisation Migration atau biasa dikenal dengan IOM menekankan pentingnya mengetahui ciri dan bentuk perdagangan manusia agar setiap orang menjadi agen bagi upaya pemberantasan perdagangan manusia. “Sebenarnya disekitar kita sangat kuat jaringannya, dan kita harus bisa mendeteksi sedini mungkin apakah ada calon-calon korban perdagangan manusia. Dengan berjejaring kita bisa mencegah perdagangan manusia”, sambung Numila.

 

Mantan Buruh Migran Indonesia, Karsiwen memberikan testimoni tentang pengalaman menjadi buruh migran di Hongkok. “Saya terpaksa harus bekerja keluar negeri karena tidak ada pekerjaan di Indonesia” kata Karsiwen yang biasa di panggil Iweng. Untuk menjadi BMI harus mendaftar di agen-agen TKI yang memberangkatkan. Tidak sedikit yang menipu dan menjadikan mereka menjadi Pekerja Seks Komersial di Hongkok dan Macau maupun Singapura. “Melalui agen saya berangkat dengan modal nekat karena mengikuti teman-teman yang telah dulu bekerja, untuk saya mendapatkan Agen yang baik jadi saya hanya bekerja sebagai house keeping. Sementara banyak temen saya yang menjadi korban TPPO”, sambung Karsiwen yang juga Ketua Kabar Bumi ( Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia).

Upaya kampanye publik ini merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh Parinama Astha di berbagai kampus di Indonesia dengan harapan upaya perlawanan terhadap TPPO bisa berkolaborasi bersama generasi muda dan menjadi bagian relawan anti perdagangan manusia.

 

Silaturhami Yayasan Parinama Astha dan Mempererat Jaringan

Pasca ditetapkannya UU No 21 Tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan manusia menjadi regulasi di Indonesia tidak sedikit kasus perdagangan manusia terus bermunculan. Pun demikian dengan lahirnya peraturan operasional melalui Peraturan Presiden tentang TPPO dan Pembentukan Satgas TPPO merupakan upaya tindak lanjut dari UU Perdagangan Manusia sebagai kejahatan Trans Nasional. Perpres No. 69 tahun 2008 tentang pembentukan satuan tugas / gugus tugas TPPO ini di kepalai oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Satgas ini juga memiliki sekretariat yang membawahi beberapa kementerian dan lembaga termasuk di dalamnya adalah CSO baik LSM maupun filantropi.

Tidak sedikit juga lembaga atau individu yang bekerja secara mandiri untuk isu ini dan telah berjuang menyelamatkan korban perdagangan manusia. Mulai dari kampanye hingga melakukan intersepsi berbagai aparat negara. Akan tetapi tetap saja kasus berbagai daerah terus bermunculan dan ini tidak menutup kemungkinan lebih besar jumlah kasus yang tidak terungkap. Yayasan Parinama Astha menjelaskan bahwa lembaganya memiliki shelter khusus korban perdagangan anak untuk tujuan seksual yang berada di Solo Jawa Tengah dan saat ini shelter tersebut sudah beroperasi dan siap menerima anak-anak yang menjadi korban perdagangan anak untuk tujuan seksual.

Dalam kesempatan ini ECPAT Indonesia menjelaskan visi dan misinya, diacara silahturahmi ini yang dihadiri oleh lembaga-lembaga yang memiliki jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti JARAK, FPL, JPAI dan IOM. Yayasan Parinama Astha berinisiatif untuk mengenal dan bekerjasama dengan lembaga-lembaga yang memiliki isu atau perhatian yang sama dalam isu Perdagangan anak untuk tujuan seksual di Indonesia. Lembaga-lembaga lain yang hadir pun ikut menjelaskan visi misi lembaga-lembaganya masing-masing. Dengan adanya silahturahmi ini diharapkan isu tentang perdagangan anak untuk tujuan seksual bisa mendapatkan perhatian dimasyarakat Indonesia dan terutama perhatian dari pemerintah agar kasus-kasus perdagangan anak untuk tujuan seksual ditekan secara maksimal dan diharapkan  di masa yang akan datang tidak ada lagi anak-anak Indonesia yang menjadi korban perdagangan anak untuk tujuan seksual.

Penulis : Rio Hendra

(Legal Officer ECPAT Indonesia)

sumber : http://ecpatindonesia.org/berita/silaturhami-yayasan-parinama-astha-dan-mempererat-jaringan/

Panel Discussion: “Human Trafficking and Modern Day Slavery”

Panel Discussion: “Human Trafficking and Modern Day Slavery”
“We cannot just be silent seeing the fact of human trafficking and slavery that’s happening right now, there is something that must be done to help them”
Sara was delivering the human trafficking presentation.
Edwin Rekosh explained the social problems solution through law.
 “We cannot just be silent seeing the fact of human trafficking and slavery that’s happening right now, there is something that must be done to help them,” that was the words repeated over and over by Rahayu Saraswati D. Djojohadikusumo, well known as Sara, in the panel discussion “Human Trafficking and Modern Day Slavery”. Sara is the founder of Parinama Astha Foundation and Indonesia for Freedom Movement, which is active in eradicating the human trafficking and slavery in Indonesia. Parinama Astha itself means ‘to transform into hope’.
Sara revealed facts about the human trafficking, that Indonesia has entered the trafficking network as the transit point, market’s destination, and even the source for the trading itself. Through these facts, Sara reminded the audiences, that even though this kind of trading seems not related to our daily lives, this is already happening in Indonesia and might befall to the people around us. Not only in Indonesia, around the world itself the human trafficking network has become broader with 27 million people already traded including 100.000 children and female as the major victims that ended up as commercial sex worker. Sara once again reminded the audience not to be overwhelmed by the numbers’ nominal, because each of that numbers represents every person that needs to be saved.

< Sara

Even though the trafficking condition has worsening, it does not mean there is not any solution. “There are many researches and efforts to fight human trafficking, but there is no network to connect that information,” explained Sara. Sara hoped that students of UPH Faculty of Law could act to fight the trafficking whether it is small or large. “With researches or even by only spreading these facts, we could develop the awareness of human trafficking,” she added.

The discussion continued with the speaker Edwin Rekosh, a lecturer in Columbia Law School and Executive Director of PILnet: The Global Network of Public Interest Law. In his session, Edwin explained how the law could be used as a solution for the problems in society.

The audiences then raised some of the social problems that are happening nowadays such as drugs and poverty. Edwin described how those problems could be solved with law. For example, for drugs problem, one of the solution is to legalize the usage of methadone. Methadone could be used as an anti-addictive for the drugs user, however, because methadone is still classified as drugs, the legal usage of this substance is still prohibited.

The two-hour seminar that was held on Wednesday, April 17, 2013 ended with giving the souvenirs to both of the speakers. Approximately 80 participants, consisted of UPH Faculty of Law students and lecturers as well as other universities’ Faculty of Law students, attended this seminar. (lau)

 

The committee gave certificate to the speakers.
(left-right) Dr. Eduard I. Hahuly (moderator), Edwin Rekosh, Sara and Jamin Ginting (committee).
 UPH Media Relations

SARA DJOJOHADIKUSUMO’S ENVIRONMENT

The actress, social activist, wife and mother talks about why her love for the environment results in a new nickname.

Thirty-year-old Sara is a woman of many roles. She is an actress, a social activist, a politician, a film producer, a wife (to Harwendro Adityo Dewanto, whom she married in 2014) and a mother. Inspired by her beloved father, Hashim Djojohadikusumo, she is also an environmentalist. Thus, it is only apt for Prestige to shoot her within the lush surroundings of Pancar Mountain Nature Park in Sentul, just outside bustling Jakarta.

“In 2011, I attended the Climate Reality training sessions held here in Jakarta, where I learned first-hand about climate change from the former U.S. Vice President Al Gore,” Sara recalls. “That was the turning point that made me more proactive in fighting for the environment. Because I believe if you care about your life, you would care about the environment.”

Caring for Mother Nature

Sara Djojohadikusumo 2
Outfit by Michael Kors | Jewellery by John Hardy

Sara says that among her many concerns about Indonesia is the issue of climate change. “Indonesia is an archipelago. It means that we’ll be one of the countries impacted most by climate change, destroying our marine life in the process. Nature doesn’t need humans; humans need nature. Indonesia is one of the world’s lungs, but we’re losing our forests and therefore depleting the earth’s oxygen and destroying the homes of many animals.”

She continues: “We need to start counting the cost of doing business that is not sustainable. We need to replant our forests, but in a way that provides sustainable living for the people who live in and around them. We need to move from fossil fuels to sustainable energy or bio fuels, and we need to see those who intentionally cause harm to our environment as criminal offenders, because they actually put our lives at risk.”

Her family business, Arsari Group – which is named after the three children of Hashim and Anie Djojohadikusumo: Aryo, Sara and Indra – whose core businesses are in agribusiness, mining, minerals, logistics and energy, has built Pusat Rehabilitasi Satwa-Harimau Sumatera Dharmasraya, a special conservation organisation situated on the land owned by one of the group’s companies, Tidar Kerinci Agung (TKA), in West Sumatra.

“Fifteen hectares of land has been allocated to the conservation of Sumatran tigers and other wildlife endemic to Sumatra,” Sara explains. “We are currently in the building stage, working with the funding and experts from The Aspinall Foundation (a British charity that works to promote wildlife conservation set up by professional gambler and zoo owner John Aspinall in 1984).”

Furthermore, Arsari Group established the Prof. Sumitro Djojohadikusumo Conservation Forest, named after Sara’s grandfather. Located in the palm plantation of TKA, this 2,400-hectare area is “planted with various local fruit plants with the hopes of fulfilling the needs of the wildlife living there,” says Sara. “For the creation of this conservation forest, PT TKA and my father have been awarded the Kalpataru for the Environment Conservationist field, given directly by the Vice President of the Republic of Indonesia in June 2014.”

Hashim Djojohadikusumo, who is Arsari Group’s CEO and Chairman, supports the Jogja Nature Conservation Foundation and the Borneo Orangutan Survival Foundation. He also established Arsari Itci Kartika Utama Forest in East Kalimantan, which has an agro culture programme for sustainable energy production. The family foundation, Yayasan Arsari Djojohadikusumo, has meanwhile been lobbying for the conservation of rhinoceros through a captivity programme in three locations owned by Arsari Group in West Sumatra, Aceh and East Kalimantan.

The Need for Role Model

Sara Djojohadikusumo 3
Outfit by Sapto Djojokartiko | Jewellery by John Hardy

Having lived abroad for quite some time, Sara, who double-majored in Classics and Drama from the University of Virginia in Charlottesville and graduated from the International School of Screen Acting in London, believes that what differentiates the mindset of people in Indonesia from those in other countries is “the understanding and the policies set by the leadership, and the implementation of those policies. We need to have the right kind of policies that will benefit us and the environment we live in for the long run and we need to implement them. We need leaders who will not be afraid of being unpopular among the powerful people who only have their own interests in mind.”

Aside from environmentalism, Sara has many other projects. “My passion is to be a professional actress,” says Sara, whose debut in the movie Merah Putih in 2009 landed her the Best Actress Award at the Bali International Film Festival. “In 2009, I realised my second calling in life, which is to fight against human trafficking. Since then, I’ve also been an activist for that cause. In 2012, I decided to set up my own foundation, Parinama Astha Foundation that focuses on the issue of human trafficking. It was also for that cause that I went into politics. So I received my third calling in early 2013 to run as a legislative candidate. After months of gruelling hard work in my district and by God’s grace, I became a Congresswoman in October 2014.”

Sara recently branched out into producing international films. “At the moment, I am executive-producing a film that is being produced by John Legend. We hope to be debuting at the Sundance Film Festival next year. This year, I am reactivating my foundation. But my highest priority is being a mother to my almost seven-month-old son.”

What does Sara hope to achieve in the future? “One project I have is to set up safe houses for the victims of human trafficking and of abuse,” she replies. “On a personal level, I’d like to raise my children as future leaders who will be wise, God-loving, kind, generous and down-to-earth. Finally, I dream of having the opportunity to act in great international movies and become a household name, which I will use to influence the next generation of change-makers for the betterment of this world.”

____________________

Fashion Direction Peter Zewet

Photography Robby Agus

Styling Koko Namara

Makeup Jacqueline Stephani

Hair Putra

Shot on location Taman Wisata Alam Gunung Pancar, Kp. Ciburial, Desa Karang Tengah, Bogor, West Java. (www.gunungpancar.co.id)